Home » » KEUNIKAN DAN KEISTIMEWAAN RASM USMANI

KEUNIKAN DAN KEISTIMEWAAN RASM USMANI

Sahabat Wisnoe . . .
Berikut ini kami postingkan kepada sobat mengenai rasm penulisan al-Qur'an yang menjadi standar penulisan al-Qur'an sekarang. Selamat membaca . . .! 
Rasm usmani terpilih sebagai rasm al-Qur’an yang mulia dan diterima secara global di seluruh dunia Islam dari dulu sampai sekarang tentunya memiliki kelebihan dan keistimewaan.  
Dalam sejarahnya kita ketahui bahwa mushaf usmani adalah bentuk penyalinan terhadap mushaf  Abu Bakar namun, mushaf  Usmani memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh  mushaf Abu Bakar yaitu diantaranya adalah[1]:
a.   Disebut mushaf Abu Bakar karena memang jumlahnya hanya satu. Sementara jumlah mashahif  Usman ada enam tanpa mengabaikan ikhtilaf
b.  Karena jumlahnya banyak, jadi lebih memungkinkan untuk mencakup ahruf sab’ah . meskipun mushaf Abu Bakar juga memuat sebagian ahruf sab’ah namun tidak selengkap mashafif Usmani.
c.   Pada mushaf Abu Bakar memang ayat-ayatnya telah tersusun tertib dalam suratnya masing-masing, tetapi susunan suratnya belum urut. Sedangkan dalam mashahif usmani urutan surat-surat telah diurutkan sebagaimana yang kita pegang sekarang. Adanya perbedaan susunan surah dalam  mushaf para sahabat  seperti mushaf Ali disusun berdasarkan kronologi turunnya ayat dan surah, mushaf  Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab dimulai dari surat Al-Baqarah,An-Nisa’ dan Ali Imran[2].
d.   Mashahif  usmani dijadikan sebagai mushaf resmi sebagai standar mushaf Qur’an yang wajib diterima semua umat muslim. Sedangkan mushaf Abu Bakar hanya disimpan untuk dijadikan rujukan ketika dibutuhkan.


Beberapa keistimewaan Mushaf  Usmani lainnya adalah:
1.  Mushaf ini ditulis berdasarkan kepada riwayat yang mutawatir bukan riwayat ahad. Persambungan sanad sampai kepada Rasulullah merupakan keistimewaan umat Islam yang tidak dimiliki oleh umat lain. Adapun periwayatan mursal dan mu’dhal dijumpai dalam kitab-kitab Yahudi begitu juga dengan kaum Nasrani keduanya banyak sekali mengandug perawi majhul dan kadzab, periwayatan mereka tidak sampai kepada tingkatan sahabat dan tabi’in, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Hazm.[3] 
2.      Dalam mushaf usmani hanya ditulis al-Qur’an yang tetap dibaca sampai wafatnya Rasulullah saw dan meninggalkan ayat yang dinasakh bacaannya, meskipun hukumnya masih tetap berlaku, sedangkan yag mansukh hukumnya tetapi tilawahnya tidak mansukh, maka tetap masuk dalam mushaf.
3.      Tertib susunannya sesuai dengan tertib ayat dan surat yang dikenal sekarang
4.      penulisannya berdasarkan cara yang dapat menghimpun segi bacaan yang berbeda-beda dan huruf-hurufnya sesuai dengan diturunkannya Al-Qur’an tujuh huruf
5.      menjauhkan segala sesuatu yang bukan Al-Qur’an, seperti tafsiran yang ditulis sebagian sahabat dalam mushaf pribadinya seperti Ibnu Mas’ud  dan lainnya.

Menurut ketentuan asal, tulisan benar-benar harus sesuai dengan pengucapannya, tanpa penambahan atau pengurangan, penggantian ataupun perubahan. Namun dalam rasm usmani banyak kita temui penulisan yang menyalahi ketentuan tersebut, penyimpangan ini tidaklah dianggap sebagai sesuatu kesalahan tetapi merupakan keunikannya serta terdapat rahasia dibaliknya,  diantara keunikan rasm Usmani dari aspek tekstologinya diantaranya adalah sebagai berikut[4]:

a.       Indikator  perbedaan qira’at dalam satu kata dengan menggunakan satu rasm apabila hal itu memungkinkan, jika satu rasm tidak dapat mengakomodir lebih dari satu wajh qira’at maka akan ditulis dengan bentuk tulisan (rasm) yang berbeda dengan asalnya, contoh:
Dapat ditulis satu bentuk tulisan هذن tanpa alif dan ya dalam setiap mushaf, sehingga dapat dibaca dalam tiga wajah;
bاxd: dengan alif setelah dzal dan mentakhfifkan nun
Èbاxd : dengan alif setelah dzal dan mentashdidkan nun
ينd : dengan ya setelah dza dan mentakhfikan nun
إن  bisa dibaca takhfif dan atau tasydid (إنّ)  
Apabila dalam bentuk kalimat disusun dalam dua kata, maka terdapat empat wajh qira’at
 ان هذا ن, inna hadzaaniQira’ah Nafi’, Ibn ‘Amir, Syu’bah, Hamzah, dan al-Kisa’i
ان هذا ن , in hadzanni Qira’ah Ibn Katsir
ان هذا ن : in hadzaani : Riwayat Hafsh dari ‘Ashim
ان هذين : inna hadzaini : Riwayat Abi ‘Amr
b.      Menunjukkan makna yang berbeda bila ditulis dengan cara berbeda: contohnya potongan kata am(ام)  dari ‘an (عن)dalam ام من يكون عليهم وكيلا   menunjukkan bahwa am munqatha’ah bermakna bal ( بل )dan berbeda maknanya bila ditulis dengan megidgamkan mim pertama dan kedua (bertasydid) yang berarti aw  امن يمشي سويا على صراط المستقيم
c.       Menunjukkan suatu pengertian yang samar dan pelik, sebagaimana penambahan dan pengurangan huruf dalam mushaf seperti : والسماء بنيناها بأيد  dalam rasm usmani ditulis بأيبد   hal ini mengisyaratkan keagungan kekuatan Allah yang Maha Besar, kekuatan tiada taranya, terkenal dengan kaidah populer: “penambahan menunjukkan penambahan pengertian” begitu juga dengan pengurangan seperti pembuangan waw pada kalimat fiil berikut : يدع الأنسان , يمح الله الباطل , سندع الزبانية  kecepatan dan kemudahan terjadinya pekerjaan yang ditunjukkan dan kedahsyatan efek pekerjaan itu.
d.      Menunjukkan harakatnya yang asli, contohya:  ايتاءي dengan ya setelah    hamzah yang menunjukkan bahwa huruf sebelum ya kasrah,  ساوريكم dengan waw setelah hamzah yang menunjukkan bahwa sebelum waw dhammah. Atau menunjukkan huruf aslinya: الصلوة - الزكوة
e.       Menunjukkan sebagian bahasa yang benar (fashih), seperti penulisan ha ta’nits dengan ta yang terbuka menunjukkan itu adalah bahasa Tha’i, sedangkan pada waktu waqaf mereka menggunakan ta, tidak menggantinya dengan ha. Seperti terdapat dalam surat 56: 89 berikut:
Dan surat 3: 35
A.    Adapun faedah dari fenomena ini adalah mendorong umat muslim belajar al-Qur’an kepada qurra’ dan bertemu langsung berdasarkan hapalan seorang yang tsiqqah, dan tidak membicarakan rasm itu semata karena ternyata tidak sejalan dengan pengucapan yang benar secara umum. ikan bahwa tidak mungkin mengambil al-Qur’an hanya dari satu mushaf saja, karena hukum tajwid dan cara membaca al-Qur’an tidak mungkin dikertahui kecuali dengan cara dialog secara langsung (musyafahah).

C.    Korelasi Dengan Varian Qira'at
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwasannya di antara penyebab kodifikasi mushaf pada masa Khalifah Utsman bin Affan adalah adanya usulan dari Sahabat Hudzaifah bin Yaman, salah seorang pemimpin pasukan perang umat Islam, setelah melihat adanya perpecahan di antara umat Islam dikarenakan adanya perbedaan bacaan al-Qur'an. Hudzaifah menilai perbedaan bacaan yang ada di kalangan umat Islam dapat memicu adanya perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Menindaklanjuti usulan Huzdzaifah bin Yaman akhirnya Khalifah Utsman membentuk sebuah Lajnah (panitia) yang bertugas untuk mengkodifikasi mushaf standar yang menjadi rujukan bagi mushaf yang ada setelahnya.
Khalifah membentuk sebuah Lajnah yang terdiri dari dua belas sahabat dan diketuai langsung oleh sekretaris Nabi, yakni Zaid bin Tsabit. Ke-dua belas sahabat itu adalah :
1.
Zaid bin Tsabit (Ketua Lajnah)
7.
Abdulllah bin Abbas
2.
Ubay bin Ka'ab
8.
Malik bin Abi Amir
3.
Abdullah bin Zubair
9.
Abdullah bin Umar
4.
Abdurrahman bin Hisyam
10.
Abdullah bin Amr bin Ash
5.
Kathir bin Aflah
11.
Said bin Ash bin Said bin Ash
6.
Anas bin Malik
12.
Nafi' bin Zubair bin Amr bin Naufal

Lajnah ini mempunyai tugas yaang amat berat, yakni membuat mushaf standar yang nantinya dengan adanya mushaf standar tersebut perpecahan di tubuh umat Islam akibat banyaknya varian qiraat bisa diminimalisir. Para penulis mushaf berusaha sebisa mungkin Rasm dalam Mushaf Utsmani itu nantinya dapat mengakomodir beberapa qira'at yang berbeda. Namun jika hal tersebut tidak memungkinkan dalam satu rasm, maka mereka membedakan beberapa mushaf dalam bentuk dua rasm yang berbeda.
            Penyusunan mushaf standar atau yang dikenal dengan mushaf Utsmani terbukti ampuh meminimalisir adanya perpecahan di tubuh umat Islam. Di samping itu penyusunan mushaf dengan Rasm Utsmani mempunyai berbagai macam faedah, di antaranya sebagaimana yang telah dipresentasikan oleh kelompok sebelumnya adalah :
Indikator perbedaan qira'at dalam satu kata dengan menggunakan satu Rasm apabila hal itu memungkinkan, jika satu Rasm tidak dapat mengakomodir lebih dari satu wajah qira'at maka akan ditulis dengan rasm yang berbeda dengan asalnya. Contoh :
قَالُوا إِنْ هَذنِ لَسَاحِرَانِ يُرِيدَانِ أَنْ يُخْرِجَاكُمْ مِنْ أَرْضِكُمْ بِسِحْرِهِمَا وَيَذْهَبَا بِطَرِيقَتِكُمُ الْمُثْلَى (٦٣)
Ditulis dengan هَذنِ  tanpa alif dan ya dalam setiap mushaf, sehingga dapat dibaca dalam tiga wajah.
هذان : dengan alif setelah dzal dan mentakhfifkan nun.
 هذانّ : dengan alif setelah dzal dan mentasydidkan nun.
هذين : dengan ya setelah dzal    dan mentakhfifkan nun.
إن bisa dibaca takhfif dan tasydid
Apabila kedua kata tadi disusun, maka akan mengakomodir empat qira'at, yaitu :
1.      إنّ هَذان  : Qira'at Nafi' , Ibnu Amir, Syu'bah, Hamzah, dan Kisa'i
2.      إنْ هذانِّ : Qira'at Ibnu Katsir
3.      إنْ هذانِ : Qira'at Hafs dari Ashim
4.      إنْ هَذينِ : Qira'at Abi Amr
Dari pemaparan di atas dapat kita ketahui bersama bahwasannya dalam penulisan  mushaf Utsmani, Rasm yang digunakan di dalamnya sebisa mungkin ditulis dengan menggunakan Rasm yang mengakomodir berbagai macam qira'at. Hal ini menunjukkan bahwasannya antara rasm Utsmani dengan ragam varian qira'at mempunyai kaitan yang erat.

Berdasarkan fakta-fakta di atas dapat diambil kesimpulan yang berkaitan dengan korelasi Rasm Utsmani dengan ragam varian qira'at, di antaranya adalah:
a. Hubungan ras usmani dengan varian qira’at erat kaitannya dengan apakah rasam usmani mencakup ahruf sab’ah  atau tidak yakni da dua pendapat yaitu pertama, rasm usman mencakup ahruf sab’ah, pendapat ini didukung oleh fuqaha, qurro’ dan mutakallimin. Karena mashahif usmani adalah bentuk salinan mushaf Abu Bakar dan dikirim ke kota-kota Islam. Pendapat kedua  mashahif usmani hanya meliputi satu huruf saja , yaitu hurf Quraisy yang al-Qur’an pertama turun dengannya, pendapat ini disandarkan kepada imam Thabari, al-Thahawi dan lainnya. Bawasanya ditetapkan satu huruf da melarang membaca dengan huruf-huruf lainnya demi menjaga kesatuan umat. Meniggalkan 6 huruf lainnya ini hukumnya tidaklah haram karena diperbolehkannya membaca dengan ahruf sab’ah adalah untuk rukhshoh
b. Dalam Mushaf Utsmani Rasm ditulis dengan menggunakan Rasm yang sebisa mungkin mengakomodir perbedaan qira'at. Sehingga perselisihan akibat perbedaan qira'at bisa diminimalisir.
c.  Sesuai dengan perkembangan zaman, ketika berada di masa pengkonsentrasian ilmu qira'at dan terdapat usaha pembatasan qira'at kepada qira'at yang bersambung hingga Rasululllah SAW, Rasm Utsmani menjadi salah satu indikator shahih atau tidaknya sebuah qira'at. Qira'at dianggap Sahih apabila qira'at tersebut sesuai dengan Rasm mushaf Utsmani. Syarat ini merupakan syarat yang telah disepakati oleh Jumhur Ulama Qira'at.
Dengan adanya syarat-syarat seperti ini berpengruh terhadap jumlah qira'at yang maqbul. Berdasarkan kesepakatan Jumhur Ulama jumlah qira'ah yang diterima dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para Ulama sebanyak tujuh qira'at (Qira'at Sab'ah), sebagaimana yang dipilih oleh Ibnu Mujahid. Seiring perkembangan zaman,  jumlah qira'ah yang maqbul bertambah tiga, sehingga menjadi sepuluh qira'at (Qira'at Asyrah), sebagaimana pendapat Ibnul Jazari[5]. Adapun sepuluh qira'at tersebut adalah :
No
Qira'ah
Riwayat
Thariq
1.
Nafi' al-Madani
Qalun
Warsy
Abi Nasyith : Muhammad bin Harun
Al-Arzaq : Abi Ya'qub Yusuf
2.
Ibnu Katsir al Makki
Al-Bazi
Qunbul
Abi Rabi'ah : Muhammad bin Ishak
Ibnu Mujahid : Abi Bakar Ahmad bin Mujahid
3.
Abi Amr al-Bashri
Al-Duri
As-Susi
Abi Za'ra : Abdurrahman bin Abdus
Abi Imron : Musa bin Jarir
4.
Ibnu Amir al-Dimasyqi
Hisyam
Ibnu Dzakwan
Al-Halwani : Abil Hasan Ahmad bin Yazid
Al-Akhfasy : Harun bin Musa
5.
Ashim al-Kufi
Syu'bah
Hafsh
Al-Sulhi : Abi Zakaria Yahya bin Adam
Al-Nahtsali : Ubaid bin Shobah
6.
Hamzah al-Kufi
Kholaf
Khilad
Abil Hasan Ibnu Buyan dari Idris bin Abdul Karim al-Haddad
Abi Bakar Muhammad bin Sydzan al-Jauhari
7.
Ali al-Kisa'i al-Kufi
Abil Harits
Ad-Duri
Muhammad bin Yahya al-Baghdadi (al-Kisa'i al-Shaghir)
Ja'far bin Muhammad al-Nashibi
8.
Abu Ja'far Yazid bin Qa'qa' al-Madani


9.
Ya'qub bin Ishak al-Hadhromi


10.
Kholaf bin Hisyam al-Bazzar al-Baghdadi



Makalah ini di tulis oleh Zuraidha, Taher, Ismail dan Saikuddin dan di-edit oleh Wisnu Al-Farisy

[1] Abduh Zulfidar Akaha, al-Qur’an dan Qiroat (Pustaka Kausar:Jakarta timur, 1996), hlm. 56
[2] Amir Faishal Fath, The Unity of Al-Qur’an, terj.Nasirudin Abbas, (Pustaka Al-Kautsar: Jakarta Timur, 2010), hlm. 58

[3] Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, manahil al-‘uIrfan Fi Ulum al-Qur’an (Gaya Media Pratama: Jakarta,2001)hlm. 391
[4] Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, manahil al-‘uIrfan Fi Ulum al-Qur’an (Gaya Media Pratama: Jakarta,2001)hlm.387
[5] Abdul Qayyum al-Sindi, Shafahat fi Ilmil Qira'at, hlm.61

2 komentar:

  1. para kuffar mengira penyatuan dialek adalah termasuk menghilangkan musaf, mereka tidak mengerti

    BalasHapus
  2. thanks .. tp kurang contoh konkrit manuskrip al-qurannya ..

    BalasHapus

Total Tayangan Halaman

Entri yang Diunggulkan

SIDANG EMAS, DESA YANG PUNYA SEGALANYA

Sahabat Wisnoe ...... Pada kesempatan ini, Sabtu 21 Oktober 2017 pukul 10:42 kita akan membicarakan sedikit tentang desa kelahiran...

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.