Nama lengkap Ibn
Khuzaimah adalah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah Al-Naisaburi.
Beliau lahir pada bulan Safar 223 H = 838 M di Naisabur (Nisapur), sebuah kota
kecil di Khurasan, di bagian timur laut,
negara Iran sekarang.
Sejak kecil beliau telah mempelajari al-Qur’an. Hingga
benar-benar memahaminya. Kemudian barulah setelah itu ayahnya memberi izin
untuk mencari dan mempelajari hadis-hadis Nabi dengan melawat ke Marwa dan
menemui Muhammad bin Hisyam dan Ibnu Qutaibah.
Guru-guru Ibn
Khuzaimah:
Sekitar tahun 240 H = 855 M, ketika Ibn Khuzaimah berusia
17 tahun, beliau giat mengadakan lawatan intelektual ke berbagai kawasan Islam.
Di Nisapur beliau belajar kepada Muhammad bin Humaid (w. 230 H = 844 M), Ishaq
bin Rahawaih, (w. 238 H = 852 M) dan lain-lain. Di Marwa kepada Ali bin
Muhammad, di Roy kepada Muhammad bin Maran dan lain-lain. Di Syam kepada Musa
bin Sahl al-Ramli dan lain-lain. Di jazirah kepada ‘Abd al-Jabbar bin al-A’la,
dan lain-lain. Di Wasit kepada Muhammad bin Harb, dan lain-lain. Di Bagdad
kepada Muhammad bin Ishaq al-Sagani, dan lain-lain. Di Basrah kepada Nasr bin
‘Ali al-Azadi AL-Jahdimi dan lain-lain. Dan di Kufah kepada Abu Kuraib Muhammad
bin al-‘Ala al-Hamdani dan lain-lain.
Selain itu, ia pun banyak
meriwayatkan hadis dari Ahmad bin Mani, Muhammad bin Rafi, Muhammad bin Basyar,
Bandar Muhammad bin Ismail al Bukhari, Muhammad bin Yahya al-Zuhali, Ahmad bin
Sayar al-Marwazi, dan sebagainya. Ia juga
menerima
hadis dari imam al-Bukhari, Muslim, dan Khalaq. Guru-guru Ibn Khuzaimah memang
sangat banyak jumlahnya. Beliau sagat hati-hati dalam meriwayatkan hadis,
beliau tidak mau meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw yang telah di terima dari
guru-gurunya sebelum betul-betul memahaminya, dan seringkali diperlihatkan
catatan-catatannya itu kepada gurunya.
Murid-muridnya:
Murid-murid yang pernah meriwayatkan
hadis dari Ibn Khuzaimah juga banyak. Bahkan disebutkan bahwa sejumlah gurunya pun
ada yang menerima hadis darinya, seperti al-Bukhari, Muslim, dan Muhammad bin
Abdullah bin Abd al-Hakam. Diantara murid-murid Ibn Khuzaimah adalah Yahya bin
Muhammad bin Sa’id, Abu Ali an-Naisaburi dan Khalaiq. Yang paling akhir
meriwayatkan hadis darinya di Nisapur adalah cucunya sendiri yaitu Abu Tahir
Muhammad bin al-Fadl.
Hadis-hadisnya pun banyak
diriwayatkan para ulama terkemuka pada zamannya. Diantara yang meriwayatkan
hadis darinya adalah Abu al-Qosim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub at-Tabra’i, Abu
Hatim, Muhammad bin Hibban, al-Busyti, Abu Ahmad, ‘Abd Allah ibn ‘Abd
al-Jurjani, Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Abd Allah bin al-Bihani, Abu Bakar Muhammad
bin Ismail as-Sasi, al-Qafal al-Kabir, dan lain-lain.
Kepribadian dan pendapat para ulama
terhadap Ibn Khuzaimah:
Beliau adalah seorang yang ulet
dalam mencari ilmu pengetahuan dan cerdas, sehingga menjadi seorang imam besar
di Khurasan. Beliau banyak menggeluti hadis dengan mempelajari dan
mendiskusikannya. Karena itulah beliau juga terkenal sebagai seorang hafiz
dan diberi gelar imam al-‘aimmah (pemimpin diantara pemimpin).
Dari segi kepribadian, Ibn Khuzaimah
dikenal sebagai orang yang baik. Banyak kesaksian dan komentar dari banyak orang
tentang hal ini. Beliau dikenal sebagai orang yang berani menyampaikan kebenaran,
kritik dan koreksi, sekalipun terhadap penguasa, terutama berkaitan dengan
penyampaian hadis yang keliru. Hal ini misalnya sebagaimana yang disampaikan oleh
Abu Bakar bin Baluih, yaitu ketika Ibn Khuzaimah mengkritik Ismail bin Ahmad,
salah seorang penguasa saat itu, yang menyampaikan hadis yang didalam sanadnya
terdapat periwayat yang tidak jelas yaitu Abu Zar al-Qadi.
Ibn Khuzaimah
juga dikenal sangat dermawan dan suka bersedekah. Abu Tahir Muhammad bin
al-Fadl (w. 387 H = 997 M), cucu Ibn Khuzaimah, menyatakan bahwa kakeknya suka
bekerja keras dan suka memberi uang dan pakaian kepada pecinta ilmu meskipun
sesungguhnya yang demikiannya itu sangat terbatas. Sementara al-Hakim menyatakan
bahwa Ibn Khuzaimah sering melakukan dakwah secara besar-besaran di Bustan. Dan
turut hadir juga dalam acara tersebut baik orang kaya maupun miskin.
Beliau adalah seorang yang mempunyai kecerdasan dan
kekuatan hafalan yang luar biasa. Abu Ali al-Husain bin Muhammad al-Hafiz
an-Naisaburi berkata, “Aku belum pernah menemukan orang sehebat Muhammad bin
Ishaq (Ibn Khuzaimah). Beliau sangat mampu menghafal hukum-hukum fiqih dari
hadis-hadis Nabi sebagaimana dari hafalan al-Qur’an.” Hal senada juga dikemukakan
ad-Daruqutni yang menyatakan bahwa ia adalah seorang pakar hadis yang sangat
terpercaya dan sulit mencari bandingannya. Sementara itu Ibnu Abi Hatim memberi
komentar bahwa Ibn Khuzaimah adalah orang yang sangat mumpuni. Ar-Rabi’, salah
seorang guru Ibn Khuzaimah dalam bidang fiqih, di samping Ibn Ruwaih dan
al-Muzani, juga menuturkan secara tulus bahwa ia pun banyak memperoleh manfaat
dari Ibn Khuzaimah.
Karya-karyanya:
Selama masa hayatnya Ibn Khuzaimah banyak
menghasilkan karya tulis. Abu ‘Abd Allah al-Hakim menyebutkan bahwa karya Ibn
Khuzaimah mencapai lebih dari 140 buah. Akan tetapi, sebagian karya-karya
beliau tidak sampai ke tangan kita, meskipun sekedar nama atau judulnya.
Karyanya yang masih dapat dijumpai saat ini hanya dua, yaitu kitab at-Tauhid
dan kitab Sahih (Mukhtasar)[1]-nya.
Namun, berdasarkan penelusuran M.M. Azami terhadap
kedua kitab tersebut didalamnya beliau menemukan ada 35 buah nama kitab yang
pernah disebutkan oleh Ibn Khuzaimah. Nama-nama kitab tersebut ialah:
1.
al-Asyribah, 2. al-Imamah, 3. al-Ahwal, 4. al-Iman, 5. al-Iman wa al-Nuzur, 6.
al-Birr wa al-Silah, 7. al-Buyu’, 8. al-Tafsir, 9. al-taubah, 10. al-Tawakkal,
11. al-Janaiz, 12. al-Jihad, 13. al-Duha 14. al-Da’awat, 15. Zikr Na’im
al-Jannah, 16. Zikr Na’im al-Akhirah, 17. al-Sadaqat, 18. al-Sadaqat min
kitabihi al-Kabir, 19. Sifat Nuzul al-Qur’an, 20. al-Mukhtasar min Kitab
al-Salah, 21. al-Salat al-Kabir, 22. al-Salat, 23. al-Siyam, 24. al-Tibb wa
al-Raqa, 25. al-Zihar, 26. al-Fitan, 27. Fadl Ali bin Abi Talib, 28. al-Qadr,
29. al-Kabir, 30. al-Libas, 31. Ma’ani al-Qur’an, 32. al-Manasik, 33. al-Wara,
34. al-Wasaya, 35. al-Qira’ah Khalfa al-Imam.[2]
Menurut M.M. Azami, dari penyebutan
35 nama kitab diatas, term-term “kitab” tersebut dapat memiliki
tiga kemungkinan;
1. Merupakan judul/nama buku tersendiri,
2. Hanya merupakan bagian atau bab dari satu
buku,
3. Dapat pula berarti kedua-duanya, yakni
terkadang sebagai judul/nama buku tersendiri, dan terkadang sebagai bagian atau
bab dari suatu buku.
M.M. Azami berpendapat bahwa
kemungkinan terakhirlah yang lebih kuat. Ia mengakui bahwa para ulama hadis
seringkali menyusun kitab/bukunya terdiri dari beberapa kitab. Hal itu
misalnya dapat dilihat dalam Kitab Sahih al-Bukhari yang terdiri dari
beberapa kitab yaitu kitab al-Iman, kitab al-Ilmi, kitab al-Wudu, dan
seterusnya.[3]
Wafatnya:
Setelah mengisi masa hidupnya dengan berbagai perjuangan
dan pengabdian, akhirnya pada malam sabtu tanggal 2 Dzulqa’dah 311 H/ 924 M,
Ibn Khuzaimah wafat dalam usia kurang lebih 89 tahun. Jenazahnya dimandikan,
dikafani, disalatkan, dan dimakamkan di bekas kamarnya yang kemudian dijadikan
makam.[4]
A. SETTING SOSIAL POLITIK
Ibn Khuzaimah
mengalami masa hayatnya pada abad ke 3 Hijrah hingga awal abad ke 4 Hijrah (223-311
H = 838-924 M). Pada masa ini pemerintahan yang berkuasa adalah dinasti
Abbasiah angkatan pertama dan kedua yang
mengalami kemunduran (833-945 M).[5] Dalam
konteks perkembangan hadis Nabi, Ibn Khuzaimah ini hidup pada periode ke 5 dan
ke 6. Periode ke 5 berkisar pada abad ke 3 H merupakan masa pemurnian,
penyehatan dan penyempurnaan (‘asr al-tajrid wa al-tashih) hadis, sedang
periode ke 6 yang dimulai sejak abad ke 4 hingga abad ke 7 Hijrah merupakan masa
pemeliharaan, penertiban dan penghimpunan (‘asr at-tahzib wa al-tartib wa
al-istadrak wa al-jam’) hadis.
Secara umum
selama masa tersebut keadaan politik dan militer pemerintahan sedang mengalami
kemerosotan dan kemunduran. Akan tetapi dalam bidang ilmu pengetahuan semakin
mengalami kemajuan. Hingga abad ke 4 Hijrah daulah Abbasiah mengalami masa
keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan, termasuk dalam bidang hadis. Hal
demikian karena negara-negara bagian dari Kerajaan Islam Raya berlomba-lomba
dalam memberi kedudukan terhormat terhadap para ulama dan para pujangga.[6]
Sebagaimana
disebutkan bahwa pada zaman ini berbagai cabang ilmu telah berkembang demikian
halnya dengan Ilmu Islam juga telah tumbuh subur, seperti yang telah dilukiskan
oleh ahli sejarah George Zaidan: “Pada awal sejarahnya ilmu-ilmu Islam
berkembang dalam bidang qiroah, tafsir dan hadis; kemudian menyusul Ilmu Fiqih.
Ilmu-ilmu ini bertambah subur berkembang, sesuai dengan evolusi kemajuan
masyarakat. Telah diketahui bahwa Ilmu Fiqih berkembang pada masa Daulah
Abbasiah I, dan hadis pada masa Daulah Abbasiah II. Pada pertengahan itu, lahir
pula cabang-cabang ilmu Islam yang lain, mengiringi berkembangnya filsafat dan
ilmu-ilmu lama lainnya. [7]
Menjelang kelahiran Ibn Khuzaimah, daulah Islamiyyah saat
itu berada dalam kekuasaan Dinasti Abbasiah angkatan pertama, tepatnya khalifah
al-Makmun (w. 218 H/ 833 M). Khalifah ini sangat memperhatikan ilmu
pengetahuan. Beliau sangat tekun mempelajari al-Qur’an, sunah dan filsafat.
Kemudian setelah al-Makmun wafat tahun 218 H=833 M, maka diganti oleh
al-Mu’tashim, khalifah ke-8, hingga beliau wafat tahun 227 H=842 M. Pada masa
pemerintahan khalifah al-Mu’tasim (218-227 H=833-842 M) inilah Ibn Khuzaimah
lahir, yakni pada tahun 223 H=838 M. Selama kira-kira sembilan tahun
al-Mu’tasim berkuasa.
Selanjutnya kekhalifahan terus mengalami perpindahan
kekuasaan (pemimpin). Hingga sampai pada khalifah al-Mutawakkil (232-246
H=847-861 M). Berbeda dengan khalifah sebelumnya, yaitu dari al-Makmun, al-Mu’tasim,
dan al-Watsiq yang sama-sama mempunyai kebijakan sangat keras terhadap ahli
hadis, karena peristiwa mihnah terjadi pada masa tersebut. Adapun pada
saat kekuasaan khalifah al-Mutawakkil, usia Ibn Khuzaimah berarti berkisar
antara 10-24 tahun. Pemahaman khalifah al-Mutawakkil lebih sejalan dengan para
ulama ahli hadis. Beliau sangat menaruh perhatian dan minat yang sangat tinggi
terhadap sunnah atau hadis-hadis Nabi. Beliau pun sangat menghormati para ulama
ahli hadis dan sering mengundang mereka ke istana. Selama pemerintahan inilah
penyebaran, pencarian, dan kajian hadis mengalami perkembangan yang sangat
pesat.
Di sisi lain,
konflik sosial politik yang semakin menajam sejak masa-masa sebelumnya turut
memotivasi pembuatan dan penyebaran hadis-hadis palsu serta kisah-kisah yang
menyesatkan umat semakin merajalela. Dalam situasi kondisi tersebut bangkitlah
para ulama dan peminat hadis, termasuk Ibn Khuzaimah, untuk aktif menekuni
hadis.
Pada periode ini pun para ulama hadis menyusun kitab-kitab koleksi
hadis secara sistematis. Hingga penghujung abad ke-3 Hijrah, berbagai kitab
koleksi hadis baik dalam bentuk penyusunan kitab sahih, kitab sunan, maupun
kitab musnad telah banyak dilakukan oleh para ulama hadis. Keadaan tersebut
mempengaruhi dan memotivasi Ibn Khuzaimah untuk mencari dan mempelajari hadis.
Karenanya, beliau giat melawat mencari hadis ke berbagai daerah hingga beliau
menyusun kitab koleksi hadisnya, yang kemudian lebih populer disebut sahih Ibn
Khuzaimah.
oleh: Sifaz, Chep dan Helmy.
[1] Lebih populer dengan nama Sahih Ibn Khuzaimah.
[2] M.M. Azami, “Muqaddimah”.... juz 1, 12-14
[3] Lihat catatan kaki, di M.M. Azami, “Muqaddimah”.... juz 1, 12-14
[4] Lihat di Endang Soetari, Ilmu Hadis, cet. II (Bandung: Amal Bakti
Press, 1997), 321-322.
[5] Lihat di Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam: Bagian
kesatu dan kedua, Terj. Ghufron A. Mas’udi, cet.II, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000), 82.
[6] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
cet pertama, 190.
[7] Ibid, 191.
0 komentar:
Posting Komentar