Home » » IKHLAS DALAM AL-QUR’AN

IKHLAS DALAM AL-QUR’AN


Sahabat Wisnoe . . .
Kita akan membahas sedikit mengenai Ikhlas di dalam al-Qur'an, bagaimanakah Iklas di dalam al-Qur'an, berikut pemaparannya:
                                   
A. PENGERTIAN IKHLAS          
            Kata akhlasha adalah bentuk kata kerja lampau transitif yang diambil dari kata kerja intransitif khalasha (خَلصَ) dengan menambahkan satu huruf 'alif (أ). Bentuk mudhâri' (sekarang) dari akhlasha (اَخْلَصَ) adalah yukhlishu (يُخْلِصُ) dan bentuk mashdarnya yaitu ikhlash (إِخْلاص). Kata tersebut tersusun dari huruf kha', lam dan shad yang berarti, "murni", "bersih"ghj, "jernih", "tanpa campuran". Maknanya kemudian berkembang menjadi antara lain "tulus" karena perbuatannya murni dari pengaruh yang lain, "memilih" karena mengambil sesuatu yang tidak bercampur dengan hal yang tidak dikehendaki, "bebas" karena terlepas dari campur tangan atau pengaruh pihak lain, "menyendiri" karena melepaskan diri dari orang banyak, "ikhlas" karena memurnikan perbuatan hanya untuk Allah dan terlepas dari tujuan-tujuan lain, "khusus" karena murni kepada yang ditujukan.
Kata ikhlas -dalam tinjauan etimonologi- banyak sekali terdapat dalam al-Qur`an, di antaranya:
  • Khaalish, yaitu bersih dan tidak dicampuri noda apapun. Seperti dalam firman Allah, “Ingatlah, hanya kepunyaaan Allah-lah agama yang bersih.” (QS. Az-Zumar [39]: 3)
  • Khalashuu, yaitu memproteksi diri. Seperti dalam firman Allah,Maka tatkala mereka berputus asa dari (putusan) Yusuf, mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik.” (QS. Yûsuf [12]: 80)
  • Khaalishah, yaitu khusus untukmu, sebagaimana dalam firman Allah,Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (QS. Shâd [38]: 46)
  • Mukhlishan, yaitu orang yang ikhlas memperjuangkan agamanya hanya untuk Allah semata, dan tidak ada cela sedikit pun. Kadangkala kata mukhlishan dipadukan dengan kata mukhlishin. Seperti dalam firman Allah,Katakanlah, ‘Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.’(QS. Az-Zumar [39]: 14);  
    Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.’(QS. Az-Zumar [39]: 11)
  • Mukhlashan, kadangkala kata ini dipadukan dengan kata mukhalashin. Seperti dalam firman Allah,
Sesungguhnya dia adalah orang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam [19]: 51)
     Setiap kata ikhlas dalam al-Qur`an pasti mengandung salah satu makna di atas.
Hakikat ikhlas -seperti yang akan kami bahas nanti- adalah berlepas diri dari segala sesuatu selain Allah Swt.
      
          Apabila kata ikhlas dihubungkan dengan kaum muslimin, maka mengandung makna bahwa mereka berlepas diri dari klaim Yahudi tentang tasybih (penyerupaan Uzair dengan Allah) dan klaim Nasrani tentang tatliist (trinitas).
Kata ikhlash (bentuk mashdar akhlasha) mempunyai beberapa pengertian.  
            Menurut al-Qurtubi, ikhlash pada dasarnya berarti "memurnikan perbuatan dari pengaruh-pengaruh makhluk". 
            Ar-Ruwaim mendefinisikannya dengan "tidak ada keinginan dari pelakunya terhadap imbalan dan pahala di dunia dan akhirat'.
            Al-Junaid mengartikannya sebagai "rahasia di antara hamba dan Allah, tidak diketahui oleh para malaikat lalu mencatatnya, setan juga tidak mengetahuinya sehingga tidak dapat merusaknya, dan hawa nafsu pun tidak mengenalinya lalu condong kepadanya".  Sejalan dengan Al-Juwaini, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi mengemukakan arti ikhlas dengan menampilkan sebuah riwayat dari Nabi Saw, "Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, "Aku telah menanyakan hal itu kepada Allah," lalu Allah berfirman, "(Ikhlas) adalah salah satu dari rahasiaku yang Aku berikan ke dalam hati orang-orang yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku."


Pengertian yang demikian dapat dijumpai di dalam S. Al-Insan [76]
; 9
"Sesungguhnyakami memberi makan kepadamu hanya untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.      

Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.      

            Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”.

            Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.         

            Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”.            

            Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.[1]    


B. IKHLAS DALAM AL-QUR’AN          
            Akhlasha dan pecahannya di dalam al-Quran terulang 31 kali dan akhlasha sendiri terulang dua kali dengan pelaku yang berbeda. Bentuk lain yang terdapat di dalam al-Quran adalah bentuk ism fa'il  dari akhlasha, yaitu mukhlish/mukhlishûn/mukhlishîn (مَخْلِص/مُخْلِصُوْن/مخُلِصِين = orang-orang yang ikhlas), terulang 20 kali. Sebagian dari kata tersebut, ada ulama yang membacanya sebagai bentuk ism maf'ul sehingga menjadi mukhlash/mukhlashîn/mukhlashûn (مخْلَصُون/مَخْلَصِين/مُخْلَص = orang-orang yang terpilih); bentuk kata kerja intransitif, khalasha خَلصَ = menyendiri) sekali; bentuk ismfa'il, khâlish /khâlishah (خالِصَة/خالِص = yang murni, yang khusus) tujuh kali; dan bentuk kata kerja sekarang (mudhâri'), astakhlishu (أسْتَخْلصْ= aku memilih) sekali.

            Kata akhlasha yang terdapat di dalam S. An-Nisâ' [4]: 146 Allah berfirman:

"Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (memurnikan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.
diartikan dengan "memurnikan", yaitu memurnikan ibadah dan ketaatan kepada Allah dari ria dan syirik. Ayat ini berkaitan dengan orang-orang yang tidak termasuk munafik yang akan disiksa kelak di dalam neraka yang paling rendah, yaitu orang-orang yang bertobat, dan berpegang teguh pada agama Allah dan memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah.
Kata Akhlasha di dalam Qs. Shad (38): 46, Allah berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat".
diartikan dengan mensucikan atau menjadikan tulus. Ata' dan Malik bin Dinar mengartikannya dengan 'mensucikan', yaitu Allah mensucikan hati mereka (Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub a.s.) dari mencintai dunia. Adapun Mujahid mengartikannya dengan 'menjadikan mereka tulus melakukan perbuatan untuk dan mengingatkan manusia tentang kehidupan akhirat.
            Orang yang melakukan perbuatan 'ikhlas' disebut mukhlish (مُخْلِص). Di dalam Alquran kata مُخْلِص dan jamaknya مُخْلِصِين/مُخْلِصُون, ada yang dapat dibaca dengan dua cara, yaitu mukhlish atau mukhlishun/mukhlishin (bentuk ism fa'il) atau mukhlash atau mukhlashun/mukhlashin (bentuk ism maf'ul), seperti yang terdapat di dalam S. Maryam (19): 51, Yusuf (12): 24, Ash-Shaffat (37): 40, 74, 128, 160, dan 169, serta Shad (38): 83. Bila dibaca mukhlish maka maknanya adalah 'orang yang tulus atau ikhlas kepada Allah', tetapi jika dibaca mukhlash maka maknanya adalah 'orang pilihan (Allah). Kedua makna tersebut dapat digunakan untuk menerangkan orang yang disebut di dalam ayat yang dimaksud. Kata tersebut digunakan berkaitan dengan Nabi Musa a.s. (S. Maryam [19]: 51); Nabi Yusuf a.s. (S. Yusuf[12]: 24); orang-orang yang akan mendapatkan kenikmatan di surga (S. Ash-Shaffat [37]: 40); orang yang tidak termasuk golongan yang sesat yang akan di azab di akhirat; padahal, telah datang kepada mereka pemberi peringatan (S. Ash-Shaffat [37]: 74); Nabi Ilyas a.s. dan umatnya yang tidak termasuk penyembah Ba'l dan akan masuk neraka (S. Ash-Shaffat [37]: 128); jin yang tidak termasuk penghuni neraka (S. Ash-Shaffat [37]: 160); orang musyrikin yang seandainya mendapat kitab dari Allah tentulah mereka akan termasuk orang yang ikhlas (S. Ash-Shaffat [37]: 169); dan orang yang akan selamat dari godaan iblis yang telah bersumpah kepada Allah akan menggoda segenap anak Adam (S. Shad [38]: 83).      
            Di samping itu, ada yang hanya dibaca dengan mukhlish dan jamaknya mukhlishin/ mukhlishun. Bacaan yang demikian selalu dikaitkan dengan kata ad-din ( الدِّيْنkecuali pada S. Al-Baqarah (2): 39:
            Kata ad-din, menurut para ahli tafsir, berarti 'ibadah' atau 'ketaatan kepada Allah'. Hal ini berarti bahwa penggunaan kata mukhlish (مُخْلِصْ ) selalu diartikan dengan 'orang yang melakukan perbuatan (ibadah atau ketaatan) yang tulus kepada Allah dan terlepas dari pengaruh makhluk yang terwujud di dalam ria dan syirik'. Penggunaan kata yang demikian berkaitan dengan perintah menyembah kepada Allah dengan penuh keihlasan (S. Az-Zumar [39]: 2, 11, dan 14, Al-A'raf [7]: 29, serta Al-Mu'min [40]: 14 dan 65); tabiat manusia yang jika dalam kesulitan pasti akan memohon dengan sejernih hati (ikhlas) hanya kepada-Nya (S. Yunus [10]: 22, Al-'Ankabut [29]: 65, Luqman [31]: 32); Ahli Kitab yang diperintah hanya menyembah dengan ikhlas kepada Allah, tetapi mereka mengkhianatinya (S. Al-Bayyinah [98]: 5); dan pertentangan orang beriman dengan orang Nasrani dan Yahudi, sedangkan orang beriman adalah yang lebih tulus menyembah kepada Allah (S. Al-Baqarah [2]: 139)[2].
Pertama, ikhlas berarti al-ishthifaa’ (pilihan) seperti pada surat Shaad : 46-47.
"Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat."

            Di sini al-Alma’i mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa Allah telah memilih mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang suci. Penafsiran yang sama juga dikemukakan oleh al-Shaabuuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasiir, yakni “Kami (Allah) istimewakan mereka dengan mendapatkan kedudukan yang tinggi yaitu dengan membuat mereka berpaling dari kehidupan duniawi dan selalu ingat kepada negeri akhirat.” Dengan demikian terdapat kaitan yang erat (munaasabah) antara ayat 46 dengan 47, yakni ayat yang sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.       

Kedua, ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotorn), sebagaimana tertera dalam surat an-Nahl : 66 Allah berfirman:
"Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya."
Ayat ini membicarakan tentang susu yang bersih yang berada di perut binatang ternak, meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan kotoran ; kiranya dapat dijadikan pelajaran bagi manusia. Makna yang sama juga terdapat dalam surat al-zumar : 3, walaupun dalam konteks yang berbeda. Dalam ayat tersebut dibicarakan tentang agama Allah yang bersih dari segala noda seperti syirik, bid’ah dan lain-lain.
            Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah : 94, Allah berfirman:
"Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (mu), jika kamu memang benar."
Dan adapun ayat yang sama dengan ayat di atas diantanya adalah Qs.  al-An’am : 139, al-A’raf : 32, Yusuf : 54, dan al-Ahzab : 32.
            Keempat, ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian) menurut sebagian qira’at. Ikhlas dalam artian pertama inilah yang paling banyak terdapat dalam al-Qur’an, antara lain terdapat dalam surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-A’raf : 29, Yunus : 22, al-Ankabut : 65, Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa : 146, dan al-Bayyinah : 5. Dalam ayat-ayat tersebut, kata-kata yang banyak digunakan adalah dalam bentuk isim fa’il (pelaku), seperti mukhlish (tunggal) dan mukhlishuun atau mukhlshiin (jamak). Secara leksikal kata tersebut dapat diartikan dengan al-muwahhid (yang mengesakan). Dalam konteks inilah kiranya surat ke-112 dalam al-Qur’an dinamakan surat al-ikhlaas, dan kalimat tauhid (laa ilaaha illa Allah) disebut kalimat al-ikhlas. Dengan demikian makna ikhlas dalam ayat-ayat di atas adalah perintah untuk selalu mengesakan Allah dalam beragama, yakni dalam beribadah, berdo’a dan dalam perbuatan taat lainnya harus dikerjakan semata-mata karena Allah; bukan karena yang lain. Itulah sebabnya mengapa term ikhlas pada ayat-ayat di atas selalu dikaitkan dengan al-diin. 
           
            Adapun ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan kepada orang-orang yang telah disucikan Allah hatinya dari segala noda dan dosa sehingga mereka menjadi hamba Allah yang bersih dan kekasih pilihan-Nya.
Hal ini seperti yang tercantum dalam surat Yusuf :24, al-Hijr: 40, al-shaffat: 40, 74, 128,166,169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada ayat-ayat tersebut semuanya memakai kata mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam : 51 yang memakai bentuk tunggal (mukhlash). Selain itu semua kata mukhlashiin dalam ayat-ayat tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad (hamba).   
            Demikianlah beberapa makna ikhlas yang terdapat dalam al-Qur’an. Pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini akan lebih difokuskan pada makna ikhlas dalam arti yang keempat (mengesakan).
            Makna Mukhlis dalam beragama dalam al-Qur’an. Menurut al-Jarjaani, pengertian ikhlas secara etimologis adalah menjauhkan perbuatan pura-pura (riya’) dalam melakukan ketaatan. Sedangkan secara terminologis, ikhlas adalah membersihkan hati dari segala noda yang dapat memperkeruh kejernihan. Sementara itu menurut al-Alma’i, definisi ikhlas secara syar’i adalah seseorang yang dalam perkataan, perbuatan dan jihadnya semata-mata ditujukan untuk Allah seraya mengharapkan keridhaan-Nya.   

            Dari kedua definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah dan mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan, harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 162-163, artinya :

"Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”

Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam surat al-Bayyinah ayat 5,
"Mereka tidak disuruh kecuali untuk mengabdikan dirinya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan menjalankan agama secara benar, yaitu dengan mendirikan shalat dan menunaikan zakat; itulah yang disebut sebagai agama yang lurus.
Selain pada ayat di atas, perintah untuk ikhlas dalam beragama, yakni menunaikan ibadah dan ketaatan kepada Allah, juga terdapat dalam surat az-Zumar: 2,11,14, al-A’raf: 29, dan surat Ghafiir: 14 dan 65.     
           Dari beberapa ayat di atas dapat dipahami bahwa kedudukan ikhlas sangat besar peranannya dalam suatu ibadah, baik ibadah dalam arti khusus maupun umum. Faktor keikhlasan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan suatu perbuatan itu dapat diterima atau ditolak oleh Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir ketika menafsirkan surat al-A’raf: 29 di atas, bahwa Allah memerintahkan agar istiqamah dalam beribadah, yaitu dengan cara mengikuti ajaran para rasul dan ikhlas dalam beribadah; karena Allah SWT tidak akan menerima suatu amal sehingga terpenuhi dua rukun, yaitu: pertama, amal perbuatan itu harus dilakukan dengan benar sesuai dengan hukum syari’at, dan kedua, amal perbuatan tersebut harus bersih dari tindakan syirik[3].      



[1] Imam An Nawawi , Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, (I/16-17), Cet. Darul Fikr; Madarijus Salikin (II/95-96), Cet. Darul Hadits Kairo; Al Ikhlas, oleh Dr. Sulaiman Al Asyqar, hlm. 16-17, Cet. III, Darul Nafa-is, Tahun 1415 H; Al Ikhlas Wasy Syirkul Asghar, oleh Abdul Lathif, Cet. I, Darul Wathan, Th. 1412 H.
[2]Penulis disini berusaha untuk mengklarifikasikan iklas dari ayat perayat yang terdapat di dalam al-Qur’an.
[3] Drs. Syamsir, M.Ag, artikel Iklas menurut islam : Kajian tematik, kamis 26 Mei 2011

3 komentar:

Total Tayangan Halaman

Entri yang Diunggulkan

SIDANG EMAS, DESA YANG PUNYA SEGALANYA

Sahabat Wisnoe ...... Pada kesempatan ini, Sabtu 21 Oktober 2017 pukul 10:42 kita akan membicarakan sedikit tentang desa kelahiran...

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.