Setting Historis-Biografis al-Farra’
A. Selayang Pandang Al-Farra’
Beliau
adalah Abu Zakaria Yahya bin Ziyad bin Abdullah bin Manshur ad-Dailami. Nama
beliau dinisbatkan pada Ad-Dailam adalah sebuah daerah yang terdapat di Persia.
Al-Farra’ juga dikenal dengan Yahya bin al-Aqtha’, al-Aqha’ adalah ayah beliau,
Ziyad adalah salah seorang sahabat yang ikut serta dalam peperangan yang
dipimpin oleh Husein bin Ali Radhiyallahu ‘Anhu, digelari dengan al-Aqtha’
(si buntung tangan) karena tangan beliau
terkena pedang pada waktu perang tersebut. Namun menurut Khallikan, yang
digelari dengan al-Aqtha’ tersebut adalah kakeknya, karena kalau dilihat
dari tahun kelahiran al-Farra’ pada tahun 144 H, sedangkan peperangan Husein terjadi
pada tahun 61 H, jelas terlihat ada jarak 84 tahun antara peperangan tersebut
dengan kelahiran al-Farra’.[1]
Nenek
moyang beliau masuk Islam pada waktu awal islam masuk ke Ad-Dailam dan Persia.
Ini ditunjukkan oleh nama ayahnya yang menggunakan telah bahasa Arab. Sedangkan
ibunya adalah bibi Muhammad bin Hasan, sahabat Abu Hanifah.
Kata
“al-Farra’” merupakan sebuah gelar yang diberikan kepada Yahya bin Ziyad. Digelari Al-Farra’ karena
kepiawaian beliau dalam berbicara, sangat baik dalam mensistematisasikan
persoalan, senada dengan pendapat Abu Fadhl al-Falaki bahwa a-Farra’
menunjukkan pada orang yang piawai dalam berbicara. Menurut pendapat lain, gelar
al-Farra’ ini diberikan kepada beliau karena kepintaran beliau dalam memecahkan
permasalahan, dan mampu mengalahkan lawan bicara dengan persoalan-persolan yang
ditujukan kepada beliau.
B. Kelahiran Dan Pertumbuhan
Al-Farra’
lahir di Kufah pada tahun 144 H pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur.
Kufah pada waktu itu adalah salah satu dari dua kota menjadi kota pelajar pada
masa itu, dimana berbagai ilmu pengetahuan berkembang pesat dan di kota banyak
ditemui para ulama terkenal. Kufah merupakan kota pilihan al-Farra’ untuk
menuntut ilmu, dapat kita lihat bahwa sebahagian besar guru beliau berasal dari
Kuffah, di antaranya: Qais bin Rabi’, Mandal bin ‘Ali, Abu Bakar bin ‘Ayyash dan
al-Kissa’i, serta Sufyan bin ‘Uyainah. Menurut satu pendapat bahwa beliau juga
berguru kepada Yunus bin Habib al-Bishri yang mempelajari kitab nahwu Sibawaih
yang sangat fenomenal sampai saat sekarang ini.[2]
Selain itu Kota kelahiran al-Farra ini merupakan pusat studi filsafat,
lexiografi dan gramatikal sebagai perangkat penstabilan bahasa Arab.
Al-Farra’
mempunyai kekuatan hafalan sangat kuat terbukti
bahwa setiap beliau dalam transfer ilmu dari sang guru beliau tidak
pernah mencatat, semuanya dihapalkan. Hannad bin Sirri mengatakan bahwa selama
beliau satu seperjuangan dengan al-Farra’ dalam menuntut ilmu tidak pernah sekalipun al-Farra’ menulis
apa yang beliau dengar, hanya saja apabila mendengarkan suatu pernyataan yang
berhubungan dengan tafsir dan bahasa, maka beliau akan berkata kepada sang
guru: “Ulangilah sekali lagi untukku, wahai Guru.” Menurut Hannad, al-Farra’
menghapalkan setiap hal yang beliau butuhkan.
Kekuatan
hapalan beliau tidak dibuktikan dengan pernyataan dari teman seperjuangan
beliau saja, bahkan selama hidup terbukti bahwa setiap mendiktekan setiap
kitab-kitab beliau tanpa menggunakan
naskah, semuanya dengan menggunakan metode hapalan.
Kepiawaian
al-Farra’ berbicara dan bertukar pendapat -terutama dalam bidang bahasa- menjadikan beliau berkedudukan yang tinggi yang tiada tandingnya. Beliau
dikenal sebagai tokoh besar Kuffah setelah Al-Kisa’i. Tsa’lab berkomentar:
”Kalau saja tidak ada al-Farra’ bahasa arab tidak akan dapat berkembang sampai
saat sekarang ini, karena beliaulah yang meringkas dan menyusunnya sehingga
bahasa Arab akan lenyap. Hai ini terjadi karena banyaknya pertentangan dan klaim
dari orang-orang yang menginginkannya, sedangkan masyarakat pada waktu itu
menggunakan bahasa Arab sesuai dengan keintelektualan mereka masing-masing
sehingga mudah menyebabkan eksistensi bahasa Arab semakin pudar.
Pertemuan
al-Farra’ dengan khalifah Al-Ma’mun melalui perantaraan Tsumamah bin al-‘Asyras
al-Mu’tazili. Pada satu kesempatan Tsumamah menguji al-Farra dalam beberapa
bidang keilmuan, dia berkata: ”Aku melihat al-Farra’ adalah seorang penyair
yang sangat besar, lalu aku duduk dan mengajak beliau berdiskusi dalam masalah
bahasa Arab. Setelah perdebatan tersebut aku mengetahui bahwa beliau adalah
pakar sastra arab dan juga seorang ahli nahwu. Kemudian aku berdiskusi mengenai
fiqh, ternyata beliau adalah pakarnya dan mengetahui perdebatan-perdebatan di
antara ulama fiqh. Setelah itu, aku berdiskusi dengan beliau masalah ilmu
nujum, kedokteran, sejarah Arab, dan sastra-sastra Arab, ternyata beliau adalah
pakarnya.”[3]
Setelah
melakukan diskusi tersebut dan menyaksikan kecerdasan al-Farra’ dalam berbagai
bidang ilmu. Kemudian Tsumamah memberitahu Khalifah Makmun, kemudian beliau
menuyusuh al-Farra’ untuk datang ke istana Al-Ma’mun. Di Baghdad, al-Farra’
memperoleh kedudukan yang tinggi yang diberikan oleh Khalifah. Para ahli
sejarah mengatakan bahwa khalifah al-Ma’mun menyuruhnya untuk membuat sebuah
perkumpulan yang mengkaji tentang dasar-dasar nahu.[4]
Bahkan, Khalifah pun mempercayakan pendidikan kedua anaknya kepada al-Farra’,
selain itu, al-Farra’ diminta untuk mengarang mengenai kaidah-kaidah dalam
bahasa Arab dan menyusun syair untuk Khalifah.
Menurut
Ibnu Nadim: “Al-Farra’ menghabiskan sebahagian besar hidupnya di Baghdad mulai
dari masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun sampai pada kekhalifahan Harun Ar-Rasyid,
hanya saja setiap akhir tahun beliau berkunjung ke Kuffah dan menetap selama 40
hari bersama keluarga dan memberikan harta untuk keluarga beliau, lalu kemudian
beliau kembali ke Baghdad.”[5]
Beliau
wafat dalam perjalanan ke Mekkah pada tahun 207 H dalam usia 63 tahun, menurut Ansab
as-Sam’ani, beliau meninggal pada 209 H. Namun, dengan wafatnya beliau bukan
berarti beliau telah kehilangan eksistensi dalam ranah keilmuan Islam terutama
dalam bidang bahasa, dalam perjalanan hidup al-Farra’ tercatat ada 17 buku yang
menjadi karya al-Farra’ termasuk kitab “Tafsir Ma’anil Qur’an”.[6]
a.
Alatul Kitab
b.
Al-Ayyamu wa Al-layali
c.
Al-Baha’
d.
Al-Jam’u wa Tanbih fi al-Qur’an
e.
Al-Hudud, berisi tentang kaidah bahasa arab
f.
Huruf al-Mu’jam
g.
Al-Fakhir fi al-Amtsal
h.
Fi’il wa Af’al
i.
Al-Lughat
j.
Al-Mudzakkar wa al-Muannats
k.
Al-Musykil ash-Shaghir
l.
Al-Musykil al-Kabir
m. Al-Mashadir fi al-Qur’an
n.
Ma’anil Qur’an
o.
Al-Maqshur wa al-Mamdud
p.
Al-Nawadir
q.
Al-Waqf
wa al-Ibtida’
Oleh:
[1]
Muhammaad Ali an-Najjar dan Ahmad Yusuf Najafi “ Muqaddimah “ dalam Ma’anil Qur’an, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1983), hlm. 7
[2] Muh. Ali al-Najjar, Muqaddimah ...,
hlm. 8
[3] Muh. Ali al-Najjar, Muqaddimah ...,
hlm. 9-10
[4] Mani’
Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 37
[5] Mani’
Abd Halim Mahmud, hlm. 37
[6] Muh. Ali al-Najjar, Muqaddimah ...,
hlm. 10-11.
0 komentar:
Posting Komentar