Sahabat Wisnoe. . . .
Pada bagian ini kita akan diberi pencerahan serta wawasan langsung dari salahsatu profesor dalam bidang al-Qur'an,Drs. Muhammad Manshur, M.Ag, selamat menikmati . . .!
Kitab al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an
1. Pengenalan Umum Kitab Tafsir Qurtubi
Kitab tafsir ini sering disebut dengan tafsir al-Qurtubi, hal ini
dapat dipahami karena tafsir ini adalah karya seorang yang mempunyai nisbah
nama al-Qurtubi atau bisa juga karena dalam halaman sampul kitabnya
sendiri tertulis judul, tafsir al-Qurtubi al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an.
Jadi, tidak sepenuhnya salah apabila seseorang menyebut tafsir ini dengan
sebutan tafsir al-Qurtubi bila yang dimaksud adalah tafsir karya al-Qurtubi
tersebut. Judul lengkap tafsir ini adalah al-Jami’ li Ahkam al-Quran wa al
Mubayyin lima Tadammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqan yang berarti kitab
ini berisi himpunan hukum-hukum al-Quran dan penjelasan terhadap isi
kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat al-Quran. Dalam muqaddimahnya sendiri
penamaan kitab ini didahului dengan kalimat Sammaitu….(aku namakan).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa judul tafsir ini adalah asli dari
pengarangnya sendiri.[1]
Sesuai judulnya, di kitab ini Imam Qurthubi menafsirkan semua ayat-ayat Al
Qur’an. Namun berbeda dengan kitab-kitab tafsir lain, secara khusus sang imam
menitikberatkan penjabarannya pada ayat-ayat yang mengandung hukum atau Ayatul
Ahkam. Setiap membicarakan suatu ayat hukum, sang imam selalu mengulas juga pendapat ulama berbagai madzhab yang berkaitan
dengan perosalan tersebut. Dan meskipun ia sendiri pengikut madzhab Maliki,
dalam mengupas suatu permasalahan Imam Qurthubi menyertakan dalil dan pendapat
semua madzhab secara adil, bahkan suatu ketika beliau bisa tidak sependapat
dengan mazhab beliau sendiri. Tapi meskipun demikian perhatiannya terhadap
aspek qira’at, i’rab, masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu nahwu
dan balagah, serta aspek nasikh (ayat-ayat penghapus) dan mansukh (
ayat yang dihapus, baik bacaannya ataupun hukumnya) tidak kalah besarnya dari
perhatiannya terhadap ilmu fiqh dan juga ilmu-ilmu lainnya.
Penjabarannya yang sangat mendalam tersebut sekaligus mengisyaratkan
keluasan ilmu sang Imam dalam ilmu fiqih. Bahkan bisa dibilang, Tafsir
Al-Qurthubi merupakan salah satu yang terbaik dalam menafsirkan ayat-ayat hukum
di dalam Al-Qur’an dan karena itu pula ia menjadi kitab tafsir yang cukup
langka padanannya. Di dalamnya, sang penulis telah mencurahkan segenap jerih
payahnya, yang bercirikan kritikan yang bersifat objektif dan tarjih (pengunggulan
pendapat yang mendekati kebenaran. Ed) cemerlang yang disandarkan pada kekuatan
bakat dan ketajaman mata batin, dimana beliau juga mengumpulkan
pendapat-pendapat para ulama tafsir terkemuka yang hidup sebelum masanya.[2]
Dalam menafsirkan ayat, Imam Qurthubi menggunakan alur yang sangat
sistematis yang dimulai dari menuliskan ayat yang akan ditafsirkan. Setelah itu
memberikan komentar atau penjelasan, termasuk asbabun nuzul atau sebab-sebab
turunnya ayat. Dilanjutkan dengan penjelasan kosa kata yang rumit, ulasan
tentang perbedaan bacaan dan kedudukan tata bahasanya, mencantumkan hadits yang
mengulas masalah tersebut lengkap dengan sanad dan ulasan kualitasnya, serta
menukil dan mengomentari perkataan para imam dan ulama fuqaha, serta pendapat
ulama salaf lain dan pengikutnya.
Terakhir ia juga mencantumkan nomor urut setiap masalah hukum yang terdapat
dalam suatu ayat. Karena itulah, jika dibanding tafsir-tafsir lain, Tafsir
Qurthubi ini dikenal sangat padat dengan kajian hukum dan enak dibaca.
2. Tartib (Sistematika)
Dalam penulisan kitab tafsir dikenal adanya tiga sistematika: Pertama,
sitematika Mushafi yaitu
penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan
surat-surat dalam mushaf, dengan dimulai dari al-Fatihah, al-Baqarah dan
seterusnya sampai surat al-Nas. Kedua, sitematika Nuzuli
yaitu dalam menafsirkan al-Quran berdasarkan kronologis turunnya surat-surat al-Quran,
contoh mufasir yang memakai sistematika ini adalah Muhammad ‘Izzah Darwazah
dengn tafsirnya yang berjudul al-Tafsir al-Hadits. Ketiga,
sistematika maudlu’i yaitu menfsirkan al-Quran berdasarkan topik-topik
tertentu dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Al-Qurtubi dalam menulis kitab tafsirnya memulai dari surat al-Fatihah
dan diakhiri dengan surat al-Nas, dengan demikian dapat diketahui bahwa
ia memakai sistematika mushafi, yaitu dalam menafsirkan al-Quran sesuai
dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.[3]
3. Manhaj (metode)
Metode yang dipergunakan oleh para mufasir, menurut al-Farmawi, dapat
diklasifikasikan menjadi empat:
Pertama, Metode Tahlili,
dimana dengan menggunakan metode ini mufasir-mufasir berusaha menjelaskan seluruh
aspek yang dikandung oleh ayat-ayat al-Quran dan mengungkapkan segenap
pengertian yang dituju. Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat
menemukan pengertian secara luas dari ayat-ayat al-Quran.
Kedua, Metode Ijmali,
yaitu ayat-ayat al-Quran dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis besarnya
saja, contoh yang sangat terkenal adalah Tafsir Jalalain.
Ketiga, Metode Muqaran,
yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Quran berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh
Mufasir sebelumnya dengan cara membandingkannya.
Keempat, Metode Maudlu’i
yaitu di mana seorang mufasir mengumpulkan ayat-ayat di bawah suatu topik
tertentu kemudian ditafsirkan.
Adapun metode yang dipakai al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya adalah metode tahlili,
karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Quran dan
mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Sebagai contoh dari pernyataan
ini adalah ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah di mana ia membaginya
menjadi empat bab yaitu; bab Keutamaan dan nama surat al-Fatihah, bab
turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab Ta’min (bacaan
amin) dan bab tentang Qiraat dan I’rab. Masing-masing dari bab tersebut
memuat beberapa masalah.[4]
Adapun untuk penjelasan secara lebih mendetail langkah-langkah yang
dilakukan oleh al-Qurtubi dalam menafsirkan al-Quran dapat dijelaskan dengan
perincian sebagai berikut:
a. Memberikan kupasan dari
segi bahasa.
b. Menyebutkan ayat-ayat
lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan menyebut sumbernya sebagai dalil.
c. Mengutip pendapat ulama
dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang
berkaitan dengan pokok bahasan.
d. Menolak pendapat yang
dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
e. Mendiskusikan pendapat
ulaam dengan argumentasi msing-masing, setelah itu melakukan tarjih dengan
mengambil pendapat yang dianggap paling benar.
Langkah-langkah yang ditempuh al-Qurtubi ini masih mungkin diperluas lagi
dengan melakukan penelitian yang lebih seksama. Satu hal yang sangat menonjol
adalah adanya penjelasan panjang lebar mengenai persoalan fiqhiyah
merupakan hal yang sangat mudah ditemui dalam tafsir ini.
4. Laun (Corak Penafsiran)
Al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir, yaitu al-Ma’sur,
al-Ra’yu, sufi, Fiqhi, Falsafi, Ilmi dan Adabi ijtima’i. Para pengkaji
tafsir memasukkan tafsir karya al-Qurtubi kedalam tafsir yang bercorak (laun)
Fiqhi, sehingga sering disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran lebih banyak dikaitkan dengan
persoalan-persoalan hukum.
Sebagai contoh dapat dilihat ketika menafsirkan surat al-Fatihah.
al-Qurtubi mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh, terutama yang berkaitan
dengan kedudukan basmalah ketika dibaca dalam salat, juga persoalan
fatihah makmum ketika shalat Jahr. Terhadap ayat yang sama-sama dari
kelompok Mufasir ahkam hanya membahasnya secara sepintas, seperti yang
dilakukan oleh Abu Bakr al-Jassas. Ia tidak membahas surat ini secara khusus,
tetapi hanya menyinggung dalam sebuah bab yang diberi judul Bab Qiraah
al-Fatihah fi al-shalah.
Contoh lain dimana al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang lebar mengenai
persoalan-persoalan fiqh dapat diketemukakan ketika ia membahas ayat Qs.
Al-Baqarah (2) : 43 :
.....وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ
وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya : “dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku'....” (al-Baqarah : 43)
Ia membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantara pembahasan yang
menarik adalah masalah ke-16. ia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status
anak kecil yang menjadi Imam salat. Di antara tokoh yang mengatakan tidak boleh
adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah ini,
al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, dengan pernyataannya:[5]
إمامة الصغير جائزة إذا كان قارئا
Artinya : (anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik).
Dan adapun diantara orang-orang yang sependapat dengan pandapat al-Qurtubi bahwa
membolehkan mengangkat anak kecil yang belum baligh menjadi imam adalah Hasan
Al-Bashri dan ishaq bin rahawaih. Pendapat inipun dipilih oleh Ibnu al-Mundzir,
jika anak kecil yang belum baligh itu sudah dapat memahami shalat dan
melaksanakannya, sebab ia termasuk ke dalam sabda Rasulullah SAW, dari Abu
Bakar Al-Baraz meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Abu Hurairah, dia
berkata : Rasulullah SAW bersbda,”jika kalian bepergian, maka hendaklah orang
yang paling fasih bacaannya di antara kalian mengimami kalian, meskipun dia
adalah orang yang paling muda usianya diantara kalian. Jika dia mengimami
kalian, maka dialah pamimpin kalian.” Di sini, Rasulullah tidak
mengecualikan seorangpun.[6]
Begitu juga dalam kasus lain ketika ia menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
....
Artinya : “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu...” (Qs. Al-Baqarah: 187)
Ia membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahasan ke-12, ia mendiskusikan persoalan makannya orang
yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut
tidak berkewajiban berkewajiban mengganti puasanya, yang berbeda dengan
pendapat Malik sebagai imam mazhabnya.
Dengan pernyataannya : إن من أكل أو شرب ناسيا
فلا قضاء عليه وإن صومه تام
Artinya : “Sesungguhnya orang yang makan atau minum karena lupa, maka tidak
wajib baginya menggantinya dan sesungguhnya puasanya adalah sempurna”
Bila dicermati dari contoh-contoh penafsiran di atas, di satu sisi
meggambarkan betapa al-Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum
yang menjadiakan tafsir ini termsuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak
hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa al-Qurtubi
yang bermazhab Maliki ternyata tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan pendapat
imam mazhabnya.[7]
5. Karakteristik Penafsiran
al-Qurtubi
Persoalan menarik yang terdapat dalam tafsir ini dan perlu untuk dicermati
adalah pernyataan yang dikemukakan oleh al-Qurtubi dalam muqaddimah tafsirannya
yang Berbunyi:
وشرطي في هذا الكتاب : إضافة الأقوال إلى قائليها والأحاديث إلى مصنفيها فإنه
يقال من بركة العلم أن يضاف القول إلى قائله
(Syarat saya dalam kitab ini adalah menyandarkan semua perkataan kepada
orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadits kepada pengarangnya, karena
dikatakan bahwa diantara berkah ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada orang
yang mengatakannya).
Lebih lanjut beliau menjelaskan, ini karena banyak sekali hadis yang
terdapat di dalam kitab fiqih dan tafsir tidak disebutkan secara jelas
(mubham). Sehingga, tidak diketahui siapa yang meriwayatkanya. Hanya
orang-orang yang merujuk pada kitab-kitab hadis saja yang dapat mengetahuinya.
Sehingga orang yang tidak memiliki pengalaman pengetahuan tentang hal ini
menjadi bingung. Dia tidak dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang
salah. Hadist yang tidak disebutkan periwayatannya maka tidak dapat diterima
jika dijadikan sebagai hujjah dan dalil, sampai hadis tersebut disandarkan pada
perawi yang meriwayatkannya dan para ulam islam yang tsiqah dan dikenal. Maka, pada buku inilah kami
(penulis) mencoba membahas permasalahan ini. Mudah-mudahan Allah memberikan
taufik menuju jalannya yang benar. [8]
6. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir
al-Qurtubi
a.
Kelebihan
Tafsir al-Qurtubi disebut juga
dengan ensiklopedi besar oleh sebagian kalangan karena tafsir beliau banyak
memuat tentang ilmu. diantara kelebihan yang dimiliki oleh kitab tafsir
al-Qurtubi ini ialah:
·
Memuat hokum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dengan pembahasan
yang luas.
·
Hadis yang menjadi sandaran hokum dalam tafsirnya pada umumnya di
takhrij dan sampai kepada orang yang meriwayatkannya.
·
Al-Qurtubi berusaha agar tidak menyebutkan dalam tafsirnya
cerita-cerita israiliyat dan hadis maudhu’, tetapi saying ada sejumlah
kesalahan kecil ( dalam kaitannya dalam penyebutan cerita israiliyat dan hadis
maudhu’ ini) yang telah dilewatinya tanpa memberikan komentar pun.
·
Ketika beliau menyebutkan cerita israiliyat dalam tafsirnya dan
hadis maudhu’ yang dapat menodai kesucian para malaikat dan nabi ataupun dapat
membahayakan aqidah orang islam, maka al-qurtubi memberikan keterangan yang
menyatakan bahawa cerita tersebut atau hadis tersebut bathil atau menyebutkan
bahwa statusnya dhaif ( lemah). Hal ini telah dilakukannya ketika menyebutkan
kisah harut dan marut, kisah nabi daud dan nabi sulaiman.
b.
Kekurangan
Meskipun kitab
tafsir al-Qurtubi di termasuk salah satu kitab tafsir yang memiliki banyak
manfaat, namun hal itu tidak luput dari sejumlah kekurangan – sesungguhnya
kesempurnaan hanya milik Allah SWT— yang telah dilewatinya tanpa ada suatu sanggahan
apa pun. Diantaranya adalah ketika ia menjelaskan konsep al-‘Arsy yang
menggandung unsur isra’iliyat dalam
surat Ghafir (40): 7 yang berbunyi:
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ
بِحَمْدِ رَبِّهِمْ
Artinya:
(Malaikat-malaikat yang memikul ‘arsy dan malaikat yang berada
disekelilingnya bertasbih memuji tuhannya).
Al-Qurtubi menyebutkan bahwa kaki-kaki para maliakat yang pemikul
‘arsy itu berada di bagian bumi paling bawah sementara kepala para malikat itu
menembus ‘arsy. Tidak ada alasan yang pasti kenapa beliau menafsirkan ayat di
atas mengunakan israiliyat, namun yang pastinya itu merupakan variasi
penafsiran menurut kami, karena al-qurtubi dalam menafsirkan ayat pasti
mempunyai tujuan tersendiri. Contohnya ialah ketika ia menafsirkan arsy dari
ayat yang lain:
قوله تعالى:
(ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ) هذه مسألة الاستواء، وللعلماء فيها كلام وإجراء.
وقد بينا أقوال العلماء فيها في الكتاب (الأسنى في شرح أسماء الله الحسنى وصفاته
العلى) وذكرنا فيها هناك أربعة عشر قولا. والأكثر من المتقدمين والمتأخرين أنه إذا
وجب تنزيه الباري سبحانه عن الجهة والتحيز فمن ضرورة ذلك ولواحقه اللازمة عليه عند
عامة العلماء المتقدمين وقادتهم من المتأخرين تنزيهه تبارك وتعالى عن الجهة، فليس
بجهة فوق عندهم، لأنه يلزم من ذلك عندهم متى اختص بجهة أن يكون في مكان أو حيز،
ويلزم على المكان والحيز الحركة والسكون للمتحيز، والتغير والحدوث. هذا قول
المتكلمين. وقد كان السلف الأول رضي الله عنهم لا يقولون بنفي الجهة ولا ينطقون
بذلك، بل نطقوا هم والكافة بإثباتها لله تعالى كما نطق كتابه وأخبرت رسله. ولم
ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة. وخص العرش بذلك لأنه
أعظم مخلوقاته، وإنما جهلوا كيفية الاستواء فإنه لا تعلم حقيقته.[9]
Artinya:
Firman Allah: (ثُمَّ اسْتَوى
عَلَى الْعَرْشِ) ini adalah masalah istiwa`. Para
ulama mempunyai diskusi khusus dan uraian panjang lebar tentang ini. Kami sudah
menjelaskannya dalam kitab “Al Asnaa fii syarh Asmaa` Allah Al Husna”,
di sana kami menyebutkan ada empat belas pendapat. Pendapat kebanyakan dari
kalangan mutaqaddimin dan muta`akhkhirin adalah bahwa Allah Allah harus
dibersihkan dari arah dan penempatan ruang. Maka, semua konsekuensinya juga harus dihilangkan. Demikian pendapat para ulama mutaqaddimin dan para
pentolan dari kalangan muta`khkhirin. Yaitu, membersihkan Allah dari sifat
arah, sehingga Allah tidak berada di atas menurut mereka. Karena menurut mereka
itu berkonsekuensi bahwa Allah bertempat atau menempati ruang. Kalau sudah
menempati ruang berarti harus ada gerakan dan diam di tempat yang menaungi
serta adanya perubahan dan hal-hal baru (evolusi). Ini adalah pendapat ulama
mutakallimin.
Akan tetapi salaf al awwal
(ulama salaf generasi pertama) –semoga Allah meridhai mereka- tidak pernah
menafikan arah dan tidak pula membicarakannya. Justru mereka semua menetapkan
itu semua bagi Allah sebagaimana disebutkan dalam kitab-Nya dan disampaikan oleh
Rasul-Nya dan tidak ada seorangpun dari kalangan salafus shalih yang
mengingkari bahwa Allah istiwa` (bersemayam) di atas arsy-Nya secara hakiki.
Arsy dikhususkan untuk itu karena dia adalah makhluk
Allah terbesar. Mereka hanya tidak tahu bagaimana kaifiyah (bentuk) istiwa`
(bersemayam) itu, karena hal tersebut tidak diketahui bentuknya.”
Kemudian Al-Qurthubi juga berkata dalam kitabnya yang
lain berjudul Al-Asna fii syarh Asma`il Allah Al-Husna juz 2 hal. 132[1] setelah menyebutkan adanya empat belas pendapat tentang
makna istiwa dia berkata:
“Dan pendapat
yang paling jelas adalah –meski aku tidak sependapat dan tidak memilihnya-
adalah pendapat yang berlandaskan ayat dan hadits yang banyak bahwa Allah di
atas Arsy-Nya sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Kitab dan melalui lisan
Nabi-Nya tanpa kaifiyah, terpisah dari semua makhluk-Nya. Ini adalah pendapat
semua ulama salaf shalih berdasarkan riwayat orang-orang terpercaya sampai
kepada mereka.”
Perhatikan
dengan baik kata-kata al-Qurtubi di atas. Secara langsung mengatakan bahwa
penetapan allah di atas ‘arsy itu hanya pendapat ulama salaf, dan yang anehnya
ia (al-Qurtubi) tidak menyepakati pendapat para ulama salaf di atas tentang
konsep arsy tu.
Dari dua penafsiran di atas dapat
kita ketahui bahwa al-Qurtubi dalam menafsirkan ayat al-Qur’an tidak mengutif
dari satu pendapat melainkan beberapa pendapat yang kemudian beliau saring dan
beliau simpulkan menurut beliau. Selain dari
cerita-cerita khurafat yang dikutif al-Qurtubi dalam tafsirnya. Al-Qurtubi
tidak lepas dari hadis-hadis dhaif dan hadis-hadis yang maudhu’ dalam
tafsirnya. Hal itu terjadi dikarenakan mungkin beliau dalam mengutif hadis
serta pendapat-pendapat ulama tanpa didasari isarat yang rajih dan penegasan.
[1] . Dosen Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin UIN SUKA. Studi Kitab tafsir. (Yogyakarta:
Teras, 2004.) hal. 67
[2] . Tafsir Al-Qurtubi, Ta’liq. Al-Hifnawi, M. Ibrahim, dan Takh. Utsman,
Mahmud hamid, Ter. Faturrahman dkk.
(Jakarta: Pusataka azzam, 2007) hal.
xiii
[3] . Dosen Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin UIN SUKA. Studi Kitab tafsir. (Yogyakarta:
Teras, 2004.) hal.68
[4] . Dosen Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin UIN SUKA. Studi Kitab tafsir. (Yogyakarta:
Teras, 2004.) hal.69
[5] . Dosen Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin UIN SUKA. Studi Kitab tafsir. (Yogyakarta:
Teras, 2004.) hal. 72
[6] . Tafsir Al-Qurtubi, Ta’liq. Al-Hifnawi, M. Ibrahim, dan Takh. Utsman,
Mahmud hamid, Ter. Faturrahman dkk.
(Jakarta: Pusataka azzam, 2007) hal.779
[7] . Dosen Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin UIN SUKA. Studi Kitab tafsir. (Yogyakarta:
Teras, 2004.) hal 73
[8] . Tafsir Al-Qurtubi, Ta’liq. Al-Hifnawi, M. Ibrahim, dan Takh. Utsman,
Mahmud hamid, Ter. Faturrahman dkk.
(Jakarta: Pusataka azzam, 2007) hal.
Xxx-xxxi.
[9] Tafsir Al-Qurthubi jilid 7 hal. 219 cetakan Dar
Al-Kutub Al-Mishriyyah 1964.
Jazakallah khair. Sangat bermanfaat
BalasHapus