Home » » SANGGAHAN TERHADAP KAUM RASIONALIS

SANGGAHAN TERHADAP KAUM RASIONALIS


DOSEN PENGAMPU: AFDAWAIZA

Sejak periode yang dianggap lebih dini dalam sejarah Islam tela muncul ketegangan mengenai masalah pengunaan akal dalam kaitannya dengan wahyu dalam proses penemuan hukum syari. Di satu pihak terdapat kelompok yang memberikan penekanan amat besar pada akal yang sering disebut dengan ahl ra’yi, di pihak lain terdapat kelompok yang menentangnya yang disebut ahl hadis. Dalam pertikaian tersebut, peran yang amat bear dimainkan oleh Imam Syafii dan Ahmad bin Hanbal. Syafi cenderung pada pembataan penggunaan akal dalam penemuan hukum syar’I dengan adagiumnya yang terkenal yaitu: mas istahsana fa qad syaara’a. Secara umum, syafii dapat dicirikan dengan tradisionalisme, artinya termasuk ke dalam golongn ahl hadis.
Bagi syafii hanya wahyu dan perluasannya dengan qiyas yang dapat menjadi sumber yang otoritatif bagi hukum. Dengan ini, syafi’I secara prinsip telah mengaloborasi suatu sistem hukum yang ditegakkan di atas teori posistif, di mana hukum hanya dapat diturunkan dari perintah dan larangan pembuat hukum. Implikasi teori ini ada dua: (1) bahwa terdapat nilai etis yang objektif tetapi nalar manusia tidak dapat menemukannya dan wahyu adalah satu-satunya cara untuk mengetahuinya. (2)tidak ada nilai etis yang objektiv karena baik dan buruk adalah semata-mata karena perintah dan larangan pembuat hukum. Syafii dimasukkan ke dalam pandangan kedua ini.
Teori syafii terus dikembangkan. Al-Asyari, seorang teolog sunni terkenal mempertegas teori ini dan menyatakan bahwa hukum-hukum syariah tidak dapat diketahui kecuali berdasarkan sama’(tradisi) da melalui para rasul. Baik dan buruk adalah berdasarkan pernyatan Tuhan. Karenanya, berdusta adalah buruk karena Tuhan menyatakannya buruk, seandainya tuhan menyatakannya baik pastilah ia menjadi baik, sehingga apabila seorang diperintahkan oleh Tuhan ia tidak bisa menolaknya.
Artikulasi yang kuat terhadap teori ini ditemukan dalam pemikiran al-Juwaini. Ia mengemukakan teorinya dalam konteks diskusi dan kritik terhadap teori objektivisme rasionalistik muktazilah. Ia mendahului uraiannya dengan suatu penjelasan mengenai ontologi hukum. Menurutnya, hukum adalah relasi antara perintah atau larangan dengan perbuatan hukum, bukan suatu kualitas intrinsik dalam perbuatan itu. Bila dikatakan bahwa minum-minuman keras adalah haram, maka keharaman itu adalah relasi larangan Pembuat Hukum dengan perbuatan minum, sebab kualitas intrinsik itu adalah sama dalam semua perbuatan minum minuman keras, baik dalam keadaan dibolehkan (darurat) ataupun dalam keadaan haram. Padahal hukumnya jelas berbeda, yang pertama mubah dan kedua haram. Hukum ditentukan oeh peritah atau larangan yang berarti tanpa unsur ini tidak ada hukum. Atas dasar ini, al-Juwaini menyatakan bahwa tiada suatu yang baik dan buruk dalam hukum Allah yang didasarkan pada kualitas intrinsik  perbuatan objek hukum itu. Baik dan buruk itu ditentukan oleh perintah atau larangan syarak itu sendiri dan menepis kemungkinan timbul kesan bahwa baik dan buruk itu objektif, hanya akal tidak dapat mengetahuinya dan syarak adalah jalan untuk mengetahuinya, seperti pandangan dari aliran muturidiyyah.
Kemudian, al-Juwaini meberikan kritik terhadap teori pengetahuan hukum syariah muktazilah. Kaum muktazilah membedakan perbuatan hukum menjadi dua kategori. (1) perbuatan yang hukum baik buruknya dapat diketahui melalui penalaran akal independen tanpa tergantung pada adanya perintah dan larangan Pembuat Hukum. Perbuatan ini dibedakan lagi menjadi dua. Pertama, yang dapat diketahui oleh akal berdasarkan pengetahuan niscaya atau secara intuitif. Kedua, yang dapat diketahui melalui akal berdasarkan pengetahaun inferensial dengan bertitik tolak pada pengetahuan niscaya itu. Dengan kata lain, (1) akal melalaui pengetahuan intuitif dapat mengetahui hukum baik buruk beberpa perbuatan, (2) berdasarkan pengetahuan niscaya tersebut, kemudian dapat dikembangkan pengetahuan inferensial mengenai hukum baik buruk beberapa perbuatan lain. Contoh kasus pertama adalah buruknya dusta yang tidak bermanfaat. Ini dapat diketahui berdasarkan pengetahuan intuitif. Contoh kasus kedua adalah, buruknya dusta yang bermanfaat yang dikategorikan sama dengan jenis dusta pertama, akan tetapi pengetahuan mengenainya diperoleh melalui penalaran akal. (2). Perbuatan yang tidak dapat diketahui hukum baik buruknya sebuah perbuatan berdasarkan penalaran akal independen , tetapi syara menjelaskan hukum baik buruknya. Muktazilan menganggap sebagian besar rincian syariah mengenai perbuatan-perbuatan yang diperintahkan atau dilarang termasuk ke dalam kategori ini.
Al-Juwaini, menyanggah pandangan Muktazilah berkaitan dengan perbuatan-perbuatan dalam kategori pertama dengan mengutip pendapat al-Baqillani (gurunya).
Pertama, menurut al-Baqillani, suatu pengetahuan niscaya sifatnya sama pada semua orang dan tidak terjadi perbedaan satu sama lain. Kalau ada perbedaan, berarti pengetahuan itu bukan pengetahuan niscaya.  Sebaliknya pada pengetahuan inferensial, tidak mungkin terjadi kesepakatan, karena pengetahuan itu didasarkan pada penalaran akal, dan orang berbeda-beda dalam hal kemampuan nalar dan kemampuan pikirnya. Atas dasar itu, pandangan muktazilah bahwa beberapa perbuatan dapat diketahui melalui pengetahuan niscaya menjadi tertolak dengan kenyataan bahwa orang-orang dengan jumlah besar di luar kelompok  muktazilah yang kecil berbeda pendapat dengan yang disebut terakhir ini dan menolak kemungkinan dapat diketahuinya hukum tersebut melalui pengetahuan niscaya (intuisi akal). Bila klaim adanya pengetahuan niscaya dapat digunakan untuk mengetahui hukum baik buruknya beberapa perbuatan menjadi gugur, maka gugur pula klaim adanya pengetahuan inferensial yang bertitik tolak pada pengetahuan niscaya tersebut
Kedua, al-Baqillani menunjukkan ketiadaan konsistensi dalam pemikiran muktazilah. Mereka menyatakan dusta yang bermanfaat adalah buruk berdasarkan penalaran para pemikir. Kalu ada dusta yang dapat menyelamatkan orang dan yang bila tidak dilakukan akan mencelakakan orang itu, lalu apa alasan menyatakannya buruk, padahal dalam prinsip muktazilah dibenarkan menyatakan baiknya atau suatu penderitaan karena suatu manfaat yang lebih besar. Tidakkkah prinsip ini bisa diterapkan pada dusta? Kaum muktazilah tidak bisa memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Entri yang Diunggulkan

SIDANG EMAS, DESA YANG PUNYA SEGALANYA

Sahabat Wisnoe ...... Pada kesempatan ini, Sabtu 21 Oktober 2017 pukul 10:42 kita akan membicarakan sedikit tentang desa kelahiran...

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.