Sahabat Wisnoe . . . .
Pada Kesempatan ini kita akan sedikit menyinggung tentang budaya hidup kenabian, atau sering disebut dengan istilah budaya hidup propetik.
Gubernur Sum-Sel, H. Alex Noerdin dan Pimpinan PPQ (Pon-Pes Qodratullah) Langkan, Sikap nabi tercurah di wajah mereka
Islam pernah berjaya pada abad ke-7 M sampai 12 M, itu terjadi pada masa kekuasaan Bani Abbasyiah. Kejayaan itu merupakan pencapaian yang fantastis bagi umat Islam, karena pencapaian tersebut merupakan yang terlama dan terbesar dalam sejarah peradaban Islam di muka bumi. Para ilmuwan Islam yang memiliki latar belakang ilmu agama maupun sains berkumpul dan berkolaborasi dalam memecahkan suatu masalah sosial pada saat itu, para pemimpin yang diberi amanah untuk memimpin suatu wilayah menjalankan tugasnya dengan baik dan para rakyat yang terdiri dari masyarakat madani dan awam menjadi masyarakat yang berbudi, bermoral dan agamis. Jadi, tidaklah mengherankan kalau kehidupan social pada masa tersebut damai, aman, sentosa dan sejahtera. Karena, antara ilmuwan, pemimpin dan rakyat berbaur menjadi satu dalam memajukan negara dan agamanya. Fakta tersebut dipengaruhi oleh nilai budaya pada diri para ilmuwan, pemimpin dan rakyat, namun yang lebih penting lagi faktor yang paling berpengaruh dalam membentuk situasi yang seperti dipaparkan tadi adalah realita bahwa para ilmuwan, pemimpin dan rakyat selalu menjunjung tinggi nilai-nilai budaya hidup profertik yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Konsep kehidupan
propertik atau hidup layaknya kehidupan nabi merupakan solusi primordial bagi
kita jika memiliki satu orientasi visioner dalam mind set, yaitu keinginan
untuk berjaya atau maju seperti umat Islam zaman Abasyiah, karena
kehidupan yang ditawarkan oleh konsep hidup propertik itu sangat komprehensif, efektif dan efisien jika diaplikasikan di zaman
kontemporer yang yang memiliki sisi liberal, plural dan sekular ini.
Namun dalam ranah
praktikal, konsep hidup propertik tidak lagi diimplementasikan secara
menyeluruh oleh individu maupun komuntias — kalau pun ada mungkin hanya
segelintir saja— karena manusia lebih nyaman kalau hidup bermusuh-musuhan,
lebih senang kalau hidup dalam kerangka violence, dan kebanyakan manusia lebih
pasrah jika identitas, kedudukan serta martabatnya diinjak-injak, entah karena
tidak memiliki unsur kuasa ataupun karena terlalu apatis terhadap identitas,
kedudukan dan martabatnya.
Realitanya, pergeseran makna hidup yang terjadi sekarang telah
menyetuh titik kekhawatiran yang memprihatinkan, karena realita yang terjadi
justru berbanding terbalik dengan apa yang diimpikan oleh para leluhur maupun
nenek moyang manusia terhadap keturunannya. Hal ini menjadi masalah yang serius
bagi para generasi sekarang yang seharusnya dalam skema struktural mesti menjunjung
tinggi nilai-nilai moral dan etika. Karena, untuk memperbaiki suatu yang telah mendarah
daging dan telah membudaya membutuhkan
proses yang lama.
Namun, solusi
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tadi, atau kita sebut sebagai persoalan
budaya, masih dapat kita tempuh melalui kajian dan tinjauan aspek hitoris yaitu
dengan membuka kembali leksikon sejarah manusia yang kebanyakan masih bersifat undiscussed,
karena sejatinya dalam setiap jejak sejarah yang telah diukir oleh manusia
memiliki nilai solutif sebagai way of life, sehingga orientasi untuk
membentuk kembali puzzle community atau kurva komunitas layaknya Daulah Abbasyiah
merupakan hal yang bersifat possibility atau bersifat mungkin. Karena
solusi-solusi yang terdapat dalam sejarah hendaknya menjadi alarm atau reminder
bagi kita agar tidak terjebak kembali ke dalam problematika yang sama yang
pernah terjadi dalam komunitas manusia sebelum kita.
0 komentar:
Posting Komentar