Home » » BIOGRAFI IMAM SYAFI'I DAN PEMIKIRANNYA

BIOGRAFI IMAM SYAFI'I DAN PEMIKIRANNYA


Nashir al-Hadits” , gelar ini di berikan oleh orang-orang Mekah kepada Imam Syaf’i karena kecerdasannya dalam memahami hadits. Kecerdasannya sudah tak diherankan lagi, beliau mempunyai perkembangan otak yang lebih cepat daripada pertumbuhan jasmaninya, beliau sudah hafal al-Quran sejak berumur tujuh tahun. Ketika beliau diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak mendapatkan upah dan mereka terbatas hanya pada pengajaran. Namun setiap kali seorang guru mengajarkan sesuatu kepada murid-murid, terlihat Syafi’i kecil dengan ketajaman akal yang dimilikinya sanggup menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya, Syafi’i mengajarkan lagi apa yang didengar dan dipahaminya kepada anak-anak yang lain, sehingga dari apa yang dilakukannya ini Syafi’i mendapatkan upah. [1]
            Abu ‘abdillah Muhammad bin Idris adalah nama Imam Syafi’i, yang bernasab al-abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i pernah bertemu dengan nabi Muhammad SAW di kala masih muda belia. Nenek moyangnya, Saib, dahulu adalah pembawa panji-panji Bani Hasyim di waktu perang Badar. Setelah beliau tertawan oleh orang Islam dan menebus diri, kemudian masuk agama Islam.[2] Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H di Gazzah, bertepatan dengan tahun dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Pada tahun itu ayahnya pergi ke kota tersebut karena ada suatu keperluan. Di kota tersebut ayahnya meninggal dunia beberapa saat setelah kelahiran putranya, Imam Syafi’i. Ayahnya bernama Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Abid bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah, nasabnya dengan Rasulullah bertemu pada Abdu Manaf bin Qushay. Tatkala umurnya mencapai dua tahun, ibunya memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Nama ibunya Fathimah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui Hasyimiyah melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin abi Thalib dan Imam Syafi’i.[3]   
            Di Mekkahlah beliau mula-mula sekali belajar dan menerima pelajaran-pelajaran agama. Setelah beliau berumur genap dua puluh tahun, beliau memberi fatwa tentang hukum-hukum agama dan lain-lain sebagainya.[4] Dalam perantauan-ilmiahnya, beliau pergi ke Madinah menemui Imam Malik untuk minta izin agar diperkenankan meriwayatkan hadits-haditsnya. Sebelum Imam Malik mengizinkannya, beliau di test terlebih dahulu untuk membacakan kitab Muwaththta’ dihadapannya. Kemudian dibacanya kitab Muwaththa’ di luar kepala. Sang guru merasa heran atas kepandaian muridnya dan sekaligus berkata: “jika ada orang yang berbahagia, maka inilah pemudanya. Setelah beliau belajar dan menerima pelajaran beberapa lamanya pada Imam Malik, beliaupun bersafar. Dua kali beliau mengunjungi Baghdad mempelajari dan memahami fiqih Hanafi. Dan akhirnya pada tahun 199 H beliau pergi ke Mesir dan memilih kota terakhir ini sebagai tempat tinggalnya untuk mengajarkan as-Sunnah dan al-Kitab kepada khalayak ramai.[5]
Imam Syafi’i berguru pada banyak ulama yang diantaranya:[6]
·           Muslim bin Khalid Az-Zanji, Mufti Makkah tahun 180 H yang bertepatan dengan tahun 796 M, ia adalah maula (budak) Bani Makhzum.
·           Sufyan bin Uyainah Al-Hilali yang berada di Makkah, ia adalah salah seorang yang terkenal ke-tsiqqah-annya (jujur dan adil).
·           Ibrahim bin Yahya, salah seorang ulama Madinah.
·           Malik bin Anas. Syafi’i pernah membaca kitab Al-Muwaththa’ kepada Imam Malik setelah ia menghafalnya di luar kepala, kemudian ia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat tahun 179 H, bertepatan dengan tahun 795 M.
·           Waki’ bin Jarrah bin Malih al-Kufi.
·           Hammad bin Usamah Al-Hasyimi Al-Kufi.
·           Abdul Wahab bin Abdul Majid Al-Bashri.
Dan ada pula ulama-ulama besar yang pernah berguru kepada beliau, antara lain: Ibnu Hanbal, al-Humaidy, Abu ath-Thahir al-Buwaithy, Muhammad bin ‘abdul Hakam dan lain-lain.
Kecerdasan beliau dalam memahami berbagai disiplin ilmu yang ditekuninya dan ketawadhuannya menimbulkan penilaian positif dikalangan kebanyakan ahli ilmu, juga Imam Ahmad, dalam menginterpretir Hadits Abu Dawud yang diriwayatkan oleh abu Hurairah radhiallahu ‘anhu: “sungguh Allah bakal mengutus kepada umat ini, pada tiap-tiap awal 100 tahun, orang yang bakal memperbaiki sistim pelaksanaan keagamaan”, menerangkan bahwa mujaddid pada abad pertama ialah ‘Abdul ‘aziz dan mujaddid pada abad kedua adalah Imam Syafi’i.[7]
Dalam kitab al-Umm telah disinggung tentang kelebihan-kelebihan yang ada pada pribadi Imam Syafi’i, yaitu:
·           Keluasan ilmu pengetahuan dalam hal adab (sastra) dan nasab, yang setara dengan al-Hakam bin Abdul Muthalib.
·           Kekuatan hafalan al-Quran dan kedalaman pemahaman antara yang wajib dan yang sunnah, serta kecerdasan terhadap seluruh disiplin ilmu yang ia miliki, yang tidak semua manusia dapat melakukannya
·           Kedalaman ilmu tentang sunnah yang shahih dan yang dha’if. Serta ketinggian ilmunya dalam hal ushul, mursal, maushul, serta perbedaan antara lafadz yang umum dan yang khusus.
·           Imam Ahmad bin Hanbal berkata, para ahli hadits (ashabul hadits) yang dipakai oleh Abu Hanifah tidak diperdebatkan sehingga kami bertemu dengan Imam Syafi’i. Ia adalah manusia yang paling memahami kitab Allah dan Sunnah Rasul SAW, serta sangat peduli terhadap hadits beliau.
·           Karabisy berkata, “ Imam Syafi’i adalah rahmat bagi umat Muhammad SAW.
·           Ibnu Rahawaih pernah ditanya, “Menurut pendapatmu, bagaimanakah Imam Syafi’i dapat menguasai kitab ini dalam usia yang masih belia?” ia menjawab, “Allah SWT mempercepat akalnya karena umurnya yang pendek.”
Karya-karya beliau diantaranya adalah:
·         Ar-Risalah Al-Qadimah (Kitab Al-Hujjah)
·         Ar-Risalah Al-Jadidah
·         Ikhtilaf Al-Hadits
·         Ibthal Al-Istihsan
·         Ahkam Al-Quran
·         Bayadh Al-Fardh
·         Sifat Al-Amr wa Nahyi
·         Ikhtilaf Al-Malik wa Syafi’i
·         Ikhtilaf Al-Iraqiyin
·         Ikhtilaf Muhammad bin Husain
·         Fadha’il Al-Quraisy
·         Kitab Al-Umm
·         Kitab As-Sunan
Diakhir hayatnya, beliau mengidap penyakit ambeien yang mengantarkan kepada ajalnya di Mesir pada malam jum’at seusai shalat Maghrib, yaitu pada hari terakhir di bulan Rajab. Beliau dimakamkan pada hari jum’atnya di tahun 204 H, atau 819/820 M. Kuburannya berada di kota Kairo, di dekat Masjid Yazar, yang berada dalam lingkungan perumahan yang bernama Imam Syafi’i.
Pemikiran Imam Syafi’i tentang Hadits
Mengenai pengertian as-Sunnah, Imam Syafi’i tidak sependapat dengan gurunya, Imam Malik, yang memasukkan qaul  sahabat dan fatwa tabi’in dalam kitabnya al-Muwatha’ sedangkan menurut Imam Syafi’i as-Sunnah adalah muthlaq as-Sunnah yatanawaluhu sunnata rasulillahi faqat.[8] bahwa sunnah lebh luas dari pada hadits.
Imam syafi’i meletakkan sunnah dalam satu peringkat dengan al-Kitab hal ini berpatokan pada pemikrannya yang mendudukkan al-Kitab sebagai bayan kulli yang mempunyai dua corak:
·         Ada yang berupa nash tidak membutuhkan penjelasan sumber lain.
·         Ada yang bukan merupakan nash sehingga membutuhkan sumber lain.
Kalau al-Kitab dinyatakan sebagai sesuatu yang kulli, maka istinbat dengan al-Kitab tidak boleh lepas dengan syarahnya, yaitu hadits.[9]
            Pendirian tersebut membawa kepada suatu pemikiran mengenai fungsi hadits terhadap al-Quran. Ada dua fungsi pokok as-Sunnah yaitu bayan dan istiqlal, memberi penjelasan dan menambah hukum dalam al-Quran. Fungsi yang pertama mencakup penjelasan terhadap ayat yang mujmal  atau umum dan penjelasan tentang naskh. Perlu dijelaskan disini bahwa fungsi naskh bukanlah berarti hadits menghapus hukum al-Quran, tetapi hadits yang menjelaskan adanya naskh itu. Imam Syafi’i berpendapat, bahwa naskh dapat terjadi antara al-Quran dengan al-Quran dan antara hadits, hanya saja yang menjelaskan adanya naskh antara al-Quran dengan al-Quran adalah hadits. Fungsi yang kedua merupakan penambahan ketentuan yang ada di dalam al-Quran, baik dari sesuatu yang ditetapkan atau yang belum ditetapkan di dalam al-Quran.[10] 
Oleh: Ulva, Sahilah dan Bojan


[1] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalah Hadits, (Bandung: Al-MA’arif), 1995
[2] Ibid,
[3] Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Mukhtashar Kitab Al-Umm fil Fiqhi (Beirut Lebanon: Darul Arqam bin Arqam), terj. Muhammad Yasir Abd Muthalib, cet. Keenam, Mei 2008.
[4] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieeeqy, Pokok Ilmu Dirayah Hadits (jakarta: Bulan Bintang).
[5] ibid,
[6] Ibid,
[7] Ibid,
[8] Rif’at Fauzi ‘Abd al-Mutalib, Tausiq al-Sunnah fi Qarn al-Sani al-Hijri Asasuhu wa Ittijahuhu (Mesir: Maktabah Khanj), 1981, dikutip oleh Indal abror dalam Studi Kitab Hadits.
[9] Alfatih Suryadilaga, dkk, Studi Kitab Hadits (Yogyakarta: TERAS), cet. Kedua, Oktober 2009.
[10] Ibid,

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Entri yang Diunggulkan

SIDANG EMAS, DESA YANG PUNYA SEGALANYA

Sahabat Wisnoe ...... Pada kesempatan ini, Sabtu 21 Oktober 2017 pukul 10:42 kita akan membicarakan sedikit tentang desa kelahiran...

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.