A. HASUD
1.1 Definition of Hasad
Kata hasud berasal dari bahasa Arab Hasada—yahsudu—Hasadan, yang artinya iri hati atau dengki.[1]Adapun dengki dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, seperti yang dipaparkan dalam buku Studi Akhlaq dalam Perspektif Al-Qur’an, berarti menaruh perasaan marah (benci, tidak suka) karena sesuatu yang amat sangat kepada keberuntungan orang lain.[2] Dalam pembahasan Akhlak dan Tasawuf, hasud/dengki merupakan sifat yang tercela, karena dengki ialah rasa benci dalam hati terhadap kenikmatan orang lain dan disertai maksud untuk menghilangkan nikmat tersebut atau berpindah kepadanya.
Hasud hampir sama dengan iri hati, adapun perasaan iri hati ialah menginginkan nikmat yang sama dengan apa yang dianugerahkan oleh Allah kepada orang lain, tanpa disertai maksud untuk menghilangkan nikmat yang ada pada orang lain. Dan di sinilah kiranya titik perbedaan hasud(dengki) dan iri hati, sehingga orang yang hasud tidak pernah segan untuk mencari tipu daya untuk menghilangkan nikmat orang lain – yang dihasudi—dan merebutnya.
1.2 Those Causes of Hasad
Al-Ghazali memaparkan dalam Mutiara Ihya ‘Ulumuddin nya bahwa diantara faktor-faktor yang menjadi sebab munculnya hasud pada diri seseorang ialah:
Ø Permusuhan;
Ø Kebencian;
Ø Kesombongan, ‘ujub;
Ø Ingin disanjung;
Ø Ketakutan akan kehilangan maksud-maksud yang diinginkan;
Ø Cinta kekuasaan;
Ø Kebakhilan;
Ø Kotornya jiwa, dsb.
1.3 The Indication of Hasad
Di antara gejala orang yang terjangkit sifat hasud adalah sebagai berikut:
Ø Selalu sibuk merintangi orang lain yang berjuang meraih kesuksesan, sehingga lupa untuk memajukan diri-sendiri.
Ø Merasa tidak senang dengan kesuksesan yang diraih orang lain, berusaha menghilangkannya, dan berharap kesuksesan itu akan berpindah kepadanya.[3]
Ø Suka mengumpat, mencela, menghina, dan memfitnah orang lain;
Ø Sombong dalam perkataan dan perbuatannya.[4]
1.4 The Side Effects of Hasad
Akibat yang dilahirkan dari sifat hasud tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi dapat merugikan orang lain juga. Karenanya hati senantiasa dalam kegundahan, kegelisahan dan tidak tentram, disamping itu pula biasanya pelaku sering berbohong yang apabila hal demikian diketahui yang bersangkutan dapat menimbulkan percekcokan.[5] Dan dapat dibayangkan betapa lelahnya si hasid , karena ia akan terus merasa sakit dan sedih setiap kali melihat “sang target” mendapatkan kenikmatan, dan selalu mencari cara dan celah untuk menghilangkan dan merebut kenikmatan tersebut, namun tatkala si target mendapatkan kesukaran ia akan menari dengan kesenangan yang tiada terkira.
1.5 The Detement and The Therapy of Hasad
Beberapa faktor di bawah ini kiranya dapat mencegah dan mengobati hasud, yaitu:
· Meningkatkan iman kepada Allah
· Meningkatkan syukur kepada Allah
· Menyadari bahwa Allah Swt, yang membuat ketentuan/takdir tersebut adalah Maha Bijaksana
· Memperbanyak istighfar
· Menyadari bahaya dan efek yang timbul dari hasud itu sendiri
o Menyibukan diri dengan pekerjaan yang baik dan tinggalkan hal-hal yang tidak bermanfa’at.
B. Tinjauan Al-Qur’an dan Hadis Tentang Hasud
1. Q.S. Ali Imran[3]:120
“ Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.”
Ayat di atas menunjukkan sifat orang-orang yang hasud. Yakni jika orang lain mendapat kebaikan maka dia merasa iri dan tidak senang atas nikmat yang diperoleh orang tersebut, tapi apabila orang lain mendapat kemalangan ia akan merasa gembira.
2. Q.S. Al-Baqarah[2]:109
“Sebahagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, Karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Hakikat dengki adalah membenci kenikmatan Allah kepada saudaranya, maka orang yang mempunyai sikap dengki menginginkan kenikmatan hilang dari saudara yang mendapatkan rizki, seperti diterangkan dalam ayat diatas para ahli kitab yang mempunyai sikap dengki menginginkan orang mukmin kembali kepada kekafiran.
3. Q.S. An-nisa’[4]:32
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Ayat ini menjelaskan tentang larangan bersifat iri (dengki) terhadap sesuatu yang diperoleh orang lain, karena masing-masing manusia itu mempunyai bagian sendiri-sendiri. Apa yang kita pandang baik bagi oarang lain, belum tentu baik bagi diri kita. Oleh karena itu tidak sepantasnya kita dengki terhadap keberhasilan orang lain, karena hanya Allah-lah yang tahu mana yang terbaik bagi hamba-Nya.
4. Larangan mendengki
لاتباغضوا ولاتقاعوا ولاتحاسدوا ولاتدابروا، كونوا عبادالله إخوانا (رواه البخاري ومسلم).
“Janganlah kalian saing membenci, saling memutuskan hubungan, saling mendengki, saling bermusuhan. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari-Muslim)
5. Bahaya dengki (hasud)
إن الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النار الحب (رواه ابن ماجه)
“Sesungguhnya dengki itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Ibnu Majah)
ثلاث لاينجو منهن أحد : الظن, والطيرة, والحسد, وسأحدثكم ما المخرج من ذلك, إذا ظننت فلا تحقق, واذاتطيرت فامض وإذا حسدت فلا تبغ.
(رواه ابن ابى الدنيا)
“Tiga perkara yang seseorang tidak bisa selamat dari sebagian diantaranya, yaitu: Sangkaan, gegabah dan dengki, akan kuberitahukan kepada kalian bagaimana jalan keluarnya dari yang demikian itu. Jika engkau menyangka, maka janganlah engkau menyelidiki. Jika engkau gegabah maka lewatilah. Jika engkau dengki janganlah berbuat lalim.” (HR. Ibnu Abi-Dunya)
[1] Alhaqir, Cara Menghilangkan Sifat Hasud, dalam www.alhaqir.multyply.com, diakses pada tanggal 28 April 2009.
[2] M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlaq dalam Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2007) hlm. 62.
[3] Muhammad Syafi'ie el-Bantanie, Belajar dari Kepiting , dalam www.muhammadsyafi'ieel-bantanie.blogspot.com, diakses pada tanggal 28 April 2009.
[4] M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlaq dalam, hlm. 62.
[5] Muhammad Al-Ghazali, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin, terj. Irwan Kurniawan (Bandung: Al-Ma’arif,1995).hlm. 253.
0 komentar:
Posting Komentar